Ragam

Buka Pentas Daulah Budaya Nusantara,

Sujiwo Tejo Pentaskan Wayang Kulit di Area Goa Selomangleng Kediri

Sujiwo Tejo
Dalang Sujiwo Tejo menerima penyerahan wayang kulit

Kediri (beritajatim.com) – Pentas wayang kulit semalam suntuk bersama dalang kondang Sujiwo Tejo digelar di kawasan Goa Selomangleng, Kelurahan Pojok, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, Jawa Timur, pada Rabu malam (26/9/2023). Kegiatan ini diinisiasi oleh tiga alemen yakni, Pondok Alam Adat Budaya Nusantara, Indika Energi dan Dunia Santri Community.

Romo Kiai Paox Iben Mudhafar dalam sambutan pembukaan mengatakan, pagelaran wayang kulit ini menjadi titik lokasi pembuka pentas bertajuk Daulat Budaya Nusantara yang akan digelar pada 9 titik, di berbagai daerah di Indonesia. Pemilihan Kediri sebagai lokasi pertama sendiri tidak lepas keyakinan bahwa Kediri sebagai titik awal Nusantara.

“Insya Allah nanti ada 9 titik daerah di Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke. Dan titik pertama, isyarohnya di Kediri,” kata Kiai Paox Iben Mudafar dihadapan ratusan penonton yang hadir di depan panggung pentas.

Paox Iben menambahkan, alasan untuk melakukan ruwatan nusantara dari Sabang sampai Merauke ini karena bumi sedang tidak baik-baik saja. Salah satu indikatornya adalah terjadinya kemarau panjang dan panas yang berlebihan.

“Ini apakah alam sedang baik-baik saja? Ya, tidak. Sekarnag sudah terlihat, kemarau panjang, panas yang berlebihan. Beberapa daerah tumbang. Kemudian orang di dunia Internasional berbicara tentang perubahan iklim global,” terang pria berambut gimbal ini.

Sujiwo Tejo
Sujiwo Tejo Pentaskan Wayang Kulit di Area Goa Selomangleng Kediri

“Kalau suhu naik 2 derajat saja. Dampaknya apa? Minimal uang jajan anak-anak naik. Padahal ekonomi sedang sulit. Belum kebutuhan lain. Anak minta es, akhirnya sakit. Kebutuhan tambah. Akhirna orang tua bertengkar. Itu hal terkecil suhu naik 2 derajat celsius,” tambah Paox Iben.

Kenapa diruwat? Pria kelahiran Semarang, 8 Februari 1976 ini menjelaskan, dalam teori antropologi dikenal dengan istilah nature dan culture. Nature adalah apa yang dilakukan oleh alam. Sedangkan culture adalah apa yang dilakukan oleh manusia. Hubungan keduanya sering kali tidak harmonis.

Baca Juga : Pagelaran Wayang Kulit Dalang Cahyo Kuntadi dan Sujiwo Tejo ‘Bius’ Warga Mojokerto

“Kalau dulu, alam terlalu dominan. Dimana sekarang jelas kebalikannya. Manusia yang terlalu dominan, sehingga mengkerdilkan alam. Maka harus dibuat jembatan penghubung. Pada leluhur kita menciptakan satu mekanisme untuk membalance-kan, itu namanya ruwat. Itu budaya Nusantara, bukan hanya di Jawa,” jlentrehnya.

Dia mencontohkan. Di Suku Bajo, ada upacara yang namanya Ibaraki. Hal itu juga sama yakni ruwatan. Dalam upacara itu, yang umum dengan memotong kepala kerbau. Upacara semacam Ibaraki juga ada di seluruh wilayah di dunia, bukan hanya di Indonesia.

“Kami ingin mencoba menseimbangkan antara kerja alam dengan kerja manusia melalui ruwatan pada 9 titik daerah di Indonesia tersebut,” tegas Paox Iben.

Kembali lagi, mengapa pilihannya dari Kediri, khususnya di kaki Gunung Klotok. “Kalau kita buka-buka kitab lagi, kita baca lagi. Titik awal Nusantara ini dari kediri. Kok bukan Borobudur, padahal lebih lama?” imbuh Paox Iben.

Ya, Borobudur berdiri sekitar abad ke-8 masehi. Bahkan, jauh sebelum dibangun Candi Borobudur itu, cerita Kiai Paox Iben, dulunya adalah sebuah danau. Di tengah-tengah ada pulau kecil dan ada sebuah tempat pemujaan.

“Ketika Hindu – Budha datang, tempat itu dijadikan sebagai Candi Hindu. Kemudian diganti Budha. Tapi kala itu, kebudayaan yang berkembang itu masih kebudayaan India. Sanskrit. Nek, Coro kasarnya, kita masih dijajah oleh kebudayaan Sanskrit. Jadi kalau kita ngomong kolonialisme itu, bukan hanya Belanda. Dimulai dari India,” jela budayawan Nasional ini.

Dia menjelaskan bahwa di India mengenal 4 kasta, bahkan pada Suku Paria ada 5 kasta. Kemudian Orang pribumi ‘dipariakan’. Hal itulah yang menurut Paox Iben, menjadi indikator kolonialisme di Indonesia diawali dari India, jauh sebelum hadirnya Belanda.

Kediri
Romo Kiai Paox Iben Mudafar memberikan sambutan pembuka

“Tahun 1.060, Gunung Merapi meletus. Kontraksi magmatik membuat bumi panas. Danau sekitar Borobudur itu mengering. Terjadi banyak konflik, rebutan sumber daya alam dan macem-macam. Akhirnya Mpu Sindok memindahkan pemerintahannya ke Jawa Timur. Mataram kuno menjadi Medang,” tegasnya.

Yang Istimewa bukan disitu. Tetapi kata Paox Iben, di Era pemerintahan Prabu Jayabaya, pada tahun 1.100. Dimana, Prabu Jayabaya berhasil ‘menjawanisasi’ atau menusantaranisasi seluruh kebudayaan India yang ada di bumi Nusantara. Terutama adalah wayang.

Baca Juga : Presiden Jancukers Sujiwo Tejo Hadir di Kota Mojokerto, Simak Jadwalnya

“Tadinya wayang hanya untuk kalangan elit dan menggunakan Bahasa Pali, itu dijawakan. Sehingga orang Jawa dimana-mana menganggap wayang itu di Jawa. Arjuno itu ada di Jawa. Gunung Bromo dan sebagainya. Harkat kita sebagai bangsa yang otonom itu lahir di Kediri. Itu kenapa bahwa malam ini perlu mengadakan ruwatan disini,” jelasnya.

Ruwatan ini, kata Paox Iben adalah sebuah bentuk negosiasi atau perjanjian ulang. Dimana, saat ini bangsa Indonesia telah memasuki milenial ke-2 yang dimulai dari tahun 2.000 lalu. Dari kerusuhan 1998, sampai sekarang ini, katanya, belum ada satu kompromni atau singkronisasi, sehinga bangsa Indonesia belum bisa berjalan dengan baik.

“Ditambah lagi dengan persoalan dunia. Amerika menginvasi Afganistan karena memiliki cadangan litium terbesar di dunia. Ternyata litium tidak berfungsi karena harus menggunakan pelengkap nikel yang hanya ada di Indonesia, yang terbesar dan terbaik. Maka Indonesia menjadi rebutan,” bebernya.

Kondisi saat ini, ungkap kiai Paox Iben, seperti siklus 500 tahunan. Kalau dulu tahun 1.500-an kolonialisme datang, sekarang neokolonialisme muncul dan Indonesia menjadi rayahan. Disisi lain, sebagai bangsa Indonesia, imbuh kiai Paox Iben, malah kehilangan harkat martabat kebudayaan. “Sekarang anak kecil, belum bisa jalan dan ngomong, sudah youTube,” ucap pria yang pernah keliling Nusantara untuk masyarakat adat ini.

“Dalam konteks ini, kita sebagai bangsa perlu melakukan rekognise, berfikir ulang untuk menumbuhkan energi baru. Kita berharap dari acara yang kecil ini, gaungnya Insya Allah dunia dan akherat,” terangnya.

Dalam ruwatan di Kediri ini sengaja menggunakan media wayang kulit dengan dalang Sujiwo Tejo. Adapun lakon yang dibawakan adalah Wangsit Wahyu Widayat. Dalam kontek kebudayaan Jawa, wayang adalah puncak dari kebudayaan Jawa itu sendiri. Sebab, seluruh elemen dihadirkan dan pemilihan Presiden Jancukers sebagai dalang juga hal yang menarik.

“Dalang sakti yang bisa meruwat itu banyak. Kenapa pilihannya Mbah Tejo? ya, karena sakti saja tidak cukup. Harus orang yang punya kegilaan. Ekstra Ordenary yang melampaui batasan. Mas Tejo kita bisa melihat di acara-acara, seperti di ILC, dia selalu punya suara berbeda, dan selalu diterima semua kubu. Ini menjadi sayarat penting dan utama,” tegas Paox Iben.

Sujiwo Tejo
Penonton menyaksian pagelaran wayang kulit yang dipentaskan Sujiwo Tejo di area Goa Selomangleng Kediri

Kata Paox Iben, pola komunikasi itu menjadi hal penting. Karena selain unsur metafisika, itu perlu adalah rasionalisasi dan kekinian. Wayangnya kekinian yang dibawakan oleh Sujiwo Tejo menggabungkan banyak unsur musik, seperti jazz dan rock. Semua energi itu bisa dirangkum dengan baik.

“Karena ruwat itu tidak hanya menyenangkan jin, setan dan masa lalu, tetapi aspek kekinian yang juga perlu,” tutupnya.

Sementara itu, Ketua Panitia Daulat Budaya Nusantara Heris Heryanto mengatakan, latar belakang dari kegiatan ini adalah
keinginan mereka untuk berbuat baik terhadap NKRI dengan cara Daulat Budaya Nusantara.

“Teknisnya, karena kita hidup tidak lepas dari dzohir dan batin. Kami lebih pada penguatan batin dengan cara kami, yaitu kalau teknis permukaan kebudayaan berupa pentas seni. Baik wayangan, kalau di luar Jawa tergantung kearifan lokal,” terangnya.

Secara batiniah, imbuh Heris, orang Jawa menyebut dengan tirakat atau ruwatannya. Oleh karena itu mereka mencari tempat-tempat yang memang memiliki energi besar secara spiritual. Baik sejarah dari dulu sampai sekarang sebagai lokasi kegiatan.

Dari Kediri, Jawa Timur kegiatan itu nantinya akan bergerak ke titik kedua yaitu di Jepara, Jawa Tengah. Di siana ada petilasan Ratu Sima, sebagai tonggak awal sejarah Tanah jawa.

Kemudian di Gunung Muria juga sebagai pusatnya uranium. Batan mendirikan PLTN disana. Jadi kenapa gunung itu menjadi penting untuk diruwat, karena yang diruwat, tidak hanya manusia, tetapi seluruh totalitas kehidupan.

Oleh sebab itu, mereka meminta restu kepada semua masyarakat, agar perjalanan dari satu daerah ke daerah lain, dari satu pulau ke pulau lain menjadi lancar dan akan terjadi suatu harmonisasi. Itu tidak lepas dari hajat Pemilu 2024 yang harus senantiasa aman, damai dan melahirkan pemimpin yang amanah. [nm/ted]


Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks



Apa Reaksi Anda?

Komentar