Politik Pemerintahan

Soroti Partisipasi Perempuan Pemilu 2024, Doktor UGM: Strategi Elektoral Caleg Perlu Banyak Dukungan

Ketua Prodi Sarjana Politik dan Pemerintah UGM, Mada Sukmajati (Istimewa)
Ketua Prodi Sarjana Politik dan Pemerintah UGM, Mada Sukmajati (Istimewa)

Yogyakarta (beritajatim.com) – Partisipasi politik sejatinya tidak bisa dilihat hanya dari sisi pencalonan politik saja. Elektabilitas, kecenderungan pemilih, dan suara-suara politik dari masyarakat juga mencerminkan sejauh mana partisipasi politik Indonesia.

Ketua Prodi Sarjana Politik dan Pemerintah UGM, Dr. rer. pol. Mada Sukmajati, M.PP menuturkan isu ini lebih kompleks jika dianalisis lebih dalam.

“Alasan kenapa calon legislatif perempuan ini masih minim partisipasinya tidak bisa dilihat hanya dari faktor perempuannya saja. Partai politik umumnya pasti akan mencalonkan seseorang yang bisa memiliki elektabilitas tinggi di masyarakat. Saya kira strategi elektoral caleg akan sangat memengaruhi hal tersebut, dan inilah yang perlu didukung sekaligus untuk mendorong masyarakat agar memberikan perhatian juga ke caleg perempuan,” ujarnya.

Baca Juga: Soal Khofifah Jadi Wakil Anies, Pengamat UGM: Lebih Baik Gubernur Saja, Daripada Salah Jalan

Mada menuturkan ada beberapa hambatan hambatan ini ternyata masih mencerminkan bagaimana masyarakat cukup pesimis terhadap calon politik perempuan.

“Hal ini tentunya perlu didorong agar perempuan mendapat rekognisi dan meningkatkan peran politiknya. Tujuan utama keterlibatan ini nantinya adalah untuk mengedepankan pembangunan yang berbasis kesetaraan gender dan kelompok rentan lainnya,” beber Mada.

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, pemerintah telah mengatur agar keterwakilan perempuan mencapai 30 Persen.

Erlina Hidayati, S., SIP., MM, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk DIY menuturkan selama bertahun tahun angka partisipasi perempuan sebesar 30 persen bisa tercapai.

Baca Juga: Kiai Muda Jatim Beri Bantuan Penerangan Jalan untuk Warga

“Selama bertahun-tahun akhirnya angka partisipasi 30 persen di DIY bisa tercapai. Untuk DIY khususnya, kesenjangan antara laki-laki dan perempuan itu dari tahun ke tahun masih sama, berada di dua garis sejajar namun cukup dekat,” beber Erlina.

Erlina menegaskan kondisi ini artinya kesetaraan sudah hampir tercapai walaupun belum sempurna. ‘Hal inilah yang kemudian yang harus lebih didorong,” tuturnya.

Rendahnya partisipasi perempuan jika dibandingkan laki-laki ini mayoritas disebabkan karena rekonstruksi sosial peran perempuan dalam rumah tangga.

Fina Itriyati, M.A., Ph.D, Sosiolog sekaligus Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, Kerja Sama, dan Alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) menuturkan jika wanita yang sudah menikah memiliki keinginan meniti karier maka dihadapkan pada hal yang dilema antara perannya sebagai ibu bekerja dan ibu rumah tangga (IRT).

“Padahal hal ini sebenarnya bisa diatasi dengan mendorong peran laki-laki juga dalam rumah tangga. Sehingga harapannya, akan ada lebih banyak perempuan yang berani untuk masuk ke jenjang karier setelah menikah,” jelasnya.

Baca Juga: Golkar-PAN Merapat, Gus Fawait: Wes Wayahe Pak Prabowo 

Pemerhati politik dari Sisi Media mengungkapkan hambatan hal yang dilema antara bekerja dan mengurus keluarga inilah yang sering dialami perempuan setelah menikah dan memiliki anak. Menurutnya menjadi calon legislatif ini adalah hal yang tidak murah dang bisa dikatakan sulit.

“Atmosfernya masih sangat kurang mendukung. Modal untuk menjadi calon legislatif itu tidak murah, belum lagi bagaimana partai memilih dan mempercayakan perempuan untuk menjadi calon legislatif. Kalau dilihat dari media sekarang, masih banyak sentimen-sentimen negatif terkait caleg perempuan,” katanya.

Dukungan lingkungan dan masyarakat yang kurang mendukung inilah membuat banyak perempuan enggan untuk mencalonkan diri sebagai aktor politik. (Aje/ian)


Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks



Apa Reaksi Anda?

Komentar