Surabaya (beritajatim.com) – Persatuan Sepak Bola Surabaya (Persebaya) berdiri pada 18 juni 1927. Dalam usia 96 tahun, Persebaya sudah melewati lima fase sejarah. Semua fase tersebut menunjukkan perkembangan klub sepak bola di kota terbesar kedua di Indonesia itu dari amatir ke profesional, dari klub yang menjadi alat perjuangan identitas kebangsaan menuju klub profesional di tengah industri sepak bola.
Fase pertama adalah fase perjuangan kemerdekaan yang terentang pada 1927-1949. Selama fase ini, prestasi bukan target utama. Klub-klub seperti Persebaya dibentuk dengan tujuan pembentukan identitas kebangsaan, terutama untuk menghadapi pemerintah kolonial Belanda.
Fase Perserikatan atau amatir adalah fase kedua, yang berlangsung pada 1950-1993. Dalam fase ini, Persebaya identik dengan semangat, gengsi, dan fanatisme kedaerahan Jawa Timur, sehingga dibiayai anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) setiap tahun. Semua pemainnya dijanjikan menjadi pegawai pemerintah, minimal di perusahaan umum daerah. Juara perserikatan adalah target penting, terutama bagi pejabat dan kepala daerah, untuk dipamerkan sebagai prestasi. Selama masa ini, Persebaya sudah lima kali menjadi juara.
Fase ketiga, 1994-2010 adalah fase semiprofesional. Predikat semiprofesional bukan jaminan citra politik lepas dari wajah Persebaya. Persebaya memang sudah memiliki badan hukum bernama PT Persebaya Indonesia pada 2008.
Sejak saat itu, klub ini tak boleh menerima dana hibah dari pemerintah. Namun sebelum itu, Persebaya masih menerima dana hibah dari Pemerintah Kota Surabaya untuk biaya mengikuti kompetisi Liga Indonesia yang merupakan unifikasi kompetisi Liga Sepak Bola Utama (Galatama) dengan Perserikatan. Persebaya sudah dua kali menjadi juara pada 1997 dan 2004.
Baca Juga: Persebaya Away ke Solo, Arema Main di Tangerang
Fase keempat 2011-2016 adalah fase krisis dan perlawanan. Persebaya mengikuti Liga Primer Indonesia yang diprakarsai pengusaha Arifin Panigoro, dan mengalami dualisme setelah PSSI mengesahkan klub tandingan bernama sama. Pada masa ini, Bonek dan manajemen Persebaya lebih sibuk memperjuangkan eksistensi daripada prestasi.
Fase terakhir adalah fase sepak bola industri, sejak 2017 hingga saat ini. Sejak Azrul Ananda menjadi presiden klub dan Persebaya mengikuti Liga 1 pada 2018, revolusi internal terjadi. Hal pertama yang dibenahi Azrul adalah aspek komersial dan finansial klub. Selama bertahun-tahun mengikuti kompetisi sepak bola dengan dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Surabaya, manajemen Persebaya tak terbiasa dengan dua aspek itu.
Tak heran saat pemerintah melarang klub sepak bola profesional menggunakan APBD untuk pembiayaan kompetisi pada 2010, Persebaya kelimpungan. Cerita soal pemain terlambat digaji hingga manejemen mencari utangan sana-sini sudah bukan rahasia lagi.
Fase industri memasuki tahun keenam. Gelar juara pun menjadi harga mati. Apalagi gelar juara liga terakhir Persebaya disandang 20 tahun lalu. Tekad untuk juara ini yang kemudian diucapkan Azrul Ananda dalam pidatonya di hadapan 38 ribu penonton yang menyaksikan Anniversary Game, di Gelora Bung Tomo, Minggu (18/6/2023).
“Selama ini sepak bola Indonesia seperti di dalam terowongan gelap. Tidak jelas pintu keluarnya di mana. Sekarang kita sudah melihat cahaya di ujung terowongan. Persebaya bersama Bonek termasuk yang mendorong supaya itu terjadi. Karena itu insyaallah, kalau Tuhan mengizinkan, Persebaya ingin juara musim ini,” katanya. [wir]
Komentar