Malang (beritajatim.com) – Pakar Hukum Pidana Universitas Brawijaya (UB), Lucky Endrawati, menilai kaburnya MSAT (42) atas kasus dugaan pencabulan santriwati di Jombang telah melecehkan aparat penegak hukum. Apalagi, proses penangkapan dihalang-halangi pendukung sehingga MSAT bisa lolos dari sergapan polisi.
Lucky menegaskan apabila terdapat subjek hukum yang menghalang-halangi tugas Polri sebagai penyidik maka dapat dikenakan pidana. Hal itu sesuai dengan Pasal 216 ayat (1) KUHP yang bunyinya sebagai berikut.
Barang siapa dengan sengaja tidak sesuai dengan perintah atau permintaan yang dilakukan sesuai undang-undang oleh pejabat yang mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan, demikian pula yang diberi wewenang untuk memeriksa tindak tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda banyak sembilan ribu rupiah.
“Peristiwa tersebut juga menunjukkan menurunnya wibawa penegak hukum di masyarakat atau dapat dikategorikan sebagai perbuatan melecehkan aparat penegak hukum,” kata Lucky, Kamis, (7/7/2022).
Lucky menuturkan, dugaan perbuatan cabul yang menjerat MSAT di Jombang secara substansi adalah pidana biasa seperti yang dilakukan tersangka lain. Hanya saja Polri dihadapkan pada persoalan MSAT adalah anak tokoh berpengaruh di Jombang.
“Namun karena tersangka adalah anak seorang tokoh agama yang selama ini melekat label tokoh yang sangat dihormati atau bahkan dikultuskan, maka kasus ini menjadi bukti bahwa hukum tidak bersih dari pengaruh sosial,” ujar Lucky.
Polisi, terang Lucky, tidak perlu ragu menangkap MSAT. Sebab, dalam menjalankan tugas, Polri dilindungi aturan seperti tertera pada Pasal 1 angka 20 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Mekanisme penegakan hukum pidana sangat jelas. Ketika seseorang sudah cukup bukti melakukan tindak pidana, maka dapat dilakukan upaya paksa yakni penangkapan sebagaimana makna penangkapan di pasal 1 angka 20 KUHAP,” tandasnya.
MSAT merupakan anak seorang kiai di Kecamatan Ploso, Jombang, Jawa Timur. Pada Oktober 2019, MSAT dilaporkan ke Polres Jombang atas dugaan pencabulan terhadap santriwati di bawah umur asal Jawa Tengah dengan Nomor LP: LPB/392/X/RES/1.24/2019/JATIM/RESJBG.
Korban adalah salah satu santriwati atau anak didik MSAT. Selama proses penyidikan, MSAT tak pernah sekalipun memenuhi panggilan penyidik hingga ditetapkan sebagai tersangka pada November 2019.
Kasus ini kemudian ditangani Polda Jatim. Namun, polisi ternyata belum bisa mengamankan MSAT.
Upaya jemput paksa pun sempat dihalang-halangi jemaah pesantren setempat. MSAT lalu menggugat pra-peradilan Kapolda Jatim dengan menyebut penetapan dia sebagai tersangka tidak sah namun ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya.
Dia mengajukan kembali praperadilan di Pengadilan Negeri Jombang dengan empat pihak yang menjadi tergugat. Di antaranya, Kepala Kepolisian Resor Jombang (Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jombang), Kepala Kejaksaan Negeri Jombang, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur (Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jatim), serta Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Asisten Tindak Pidana Umum Kejati Jawa Timur).
Upaya praperadilan tersebut ditolak juga oleh hakim PN Jombang. MSAT pun dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) atau buronan Polri. [luc/beq]
Komentar