Red Bull Arena, Leipzig, Jerman, November 2019. Keran Tejwani terpukau menyaksikan RB Leipzig membombardir gawang Mainz delapan gol tanpa balas dalam pertandingan lanjutan Bundesliga. Timo Werner, pemain berusia 23 tahun kelahiran Stuttgart, mencetak tiga gol.
Ditangani pelatih berusia 32 tahun, Julian Nagelsmann, RB Leipzig menguasai 68 persen jalannya pertandingan dan membombardir gawang Zentner dengan 12 tembakan tepat sasaran. Yang membuat Tejwani terpukau adalah semangat pantang menyerah para pemain Leipzig. Mereka tak mengendurkan tempo cepat yang dikembangkan sejak awal, kendati sudah unggul telak.
Sebulan kemudian, Tejwani menyaksikan RB Salzburg kalah 0-2 dari Liverpool dalam pertandingan Liga Champions di Red Bull Arena, Salzburg, Austria. Dua gol dicetak Mohamed Salah dan Naby Keita. Kendati kalah, Tejwani menilai, penampilan Salzburg sangat mengesankan.
Tejwani adalah seorang penulis dan jurnalis sepak bola yang magang di University of Central Lancashire, yang menulis untuk The Guardian, These Football Times, Sport360 dan berbagai publikasi dan situs web lainnya, sejak 2016. Dia juga salah satu pendiri dan editor utama Football Chronicle.
Dua pertandingan itu menginspirasi Tejwani untuk menulis buku Wings of Change: How the World’s Biggest Energy Drink Manufacturer Made a Mark in Football, yang kemudian diterbitkan Pitch Publishing pada Agustus 2021. Ini buku debutnya yang berkisah tentang bagaimana perusahaan minuman energi terbesar di dunia membuat jejak di dunia sepak bola.
Tejwani tak hanya menelisik klub yang disponsori perusahaan minuman energi Red Bull di sejumlah kota di dunia, seperti Leipzig, New York, São Paulo, dan Sogakope. Buku ini mengungkapkan bagaimana Red Bull mengubah peta dunia sepak bola, mengeksplorasi kesuksesan, kontroversi, dan inovasi mereka.
Selama ini Red Bull identik dengan minuman energi dan olahraga ekstrem. Mereka mengawali proyek di dunia sepak bola dengan mengambil alih SV Austria Salzburg, sebuah klub lokal tidak ternama di Austria, pada 2005.
Sebelum dikuasai perusahaan berlogo dua banteng saling adu kepala ini, klub ini didirikan pada 13 September 1933. Red Bull kemudian mengubah namanya menjadi Football Club Red Bull Salzburg, dan mengubah nama, lambang, sejarah, dan warna jersey dari violet putih ke putih merah. Situs resmi klub juga menyatakan klub didirikan pada 2005, bukan 1933.
Ini mengundang kemarahan suporter. Federasi Austria pun turun tangan dan memaksa RB Salzburg mengubah data di situs resmi menjadi 1933. Namun suporter sudah patah arang. Mereka kemudian mendirikan klub sendiri dengan nama SV Austria Salzburg untuk mempertahankan sejarah dan identitas kebanggaan warga Salzburg.
Red Bull kemudian mereplikasi metode di Salzburg dan melanjutkan proyek membangun dinasti sepak bola di sejumlah kota di dunia. Sebagaimana di Austria, langkah ini memicu permusuhan dari suporter setempat. Namun, di balik kontroversi tersebut, dalam beberapa tahun saja, Red Bull sudah berhasil membetot perhatian dunia sepak bola, dengan mengembangkan barisan pemain muda bertalenta. Kini diakui atau tidak, dua klub Red Bull RB Salzburg dan RB Leipzig, menjadi kekuatan baru di Eropa.
Buku ini cukup menarik karena memberikan wawasan dan analisis taktik serta pemain. Namun, Tejwani kurang mendetailkan penjelasan soal tidak populernya RB Leipzig di Jerman. Namun, secara umum, Tejwani berhasil menghindari stereotip dan klise buruk soal Red Bull di dunia sepak bola. Buku ini secara komprehensif menjabarkan soal taktik modern, pencarian bakat, dan perencanaan suksesi dalam sepak bola saat ini.
Buku ini layak dibaca oleh para ‘sultan’ alias orang kaya di Indonesia yang mengambil alih lisensi klub sepak bola dan mengubah identitas maupun sejarahnya. Mereka tak bisa hanya berhenti pada kepemilikan, namun juga pengembangan yang membuat ‘klub baru’ tersebut bisa mengungguli klub-klub tradisional yang punya sejarah panjang dalam sepak bola Indonesia. [wir/but]
Komentar