Mojokerto (beritajatim.com) – Terdakwa kasus pengemplang pajak pertambahan nilai (PPN) di PT Pembangunan Sinar Abadi (SPA) senilai Rp 2,5 miliar, Ronny Widharta dituntut 3 tahun dan 6 bulan penjara.
Sidang tuntutan bos pabrik baja tersebut berlangsung di Ruang Cakra Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto, Selasa (21/3/2023).
Terdakwa dihadirkan secara langsung dari Lembaga Pemasyarakat (Lapas) Kelas IIB Mojokerto tempatnya ditahan dengan dikawal tiga pengacara. Jaksa Penuntut Umum (JPU) meminta majelis hakim menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana dan dijatuhi hukuman denda sebesar Rp 5,7 miliar.
Dalam amar tuntutannya, JPU Geo Dwi Novrian meminta agar majelis hakim menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana sebagai Pasal 39 Ayat 1 UU Nomor 28/2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 6/1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
“Meminta agar menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan dan dituntut hukuman denda senilai Rp5.707.496.510. Dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti dengan hukuman selama 6 bulan penjara,” ungkapnya.
Denda tersebut merupakan dua kali lipat dari pajak terutang sebesar Rp2,5 miliar yang timbul dalam perkara ini. Atas tuntutan tersebut, pihak terdakwa langsung menyatakan akan mengajukan pleiodoi karena kuasa hukum terdakwa meminta diputus onslag atau terdakwa dibebaskan.
Tim kuasa hukum terdakwa, R Fauzi Zuhri menilai jika perkara tersebut bukan merupakan perbuatan pidana, melainkan perdata atau kurang bayar pajak.
“Persidangan ini niatnya mau memenjarakan orang atau mau membayar kerugian negara. Kalau membayar kerugian negara harusnya dimunculkan penetapan atau surat tagihan dikoordinasikan dengan kurator,” ujarnya.
Baca Juga:
Pihaknya bersikukuh kekurangan pembayaran pajak harusnya menjadi kewajiban tim kurator. Karena hal tersebut berkaitan dengan putusan pailit terhadap PT SPA yang ditetapkan Pengadilan Niaga Surabaya pada 2019 lalu sehingga tagihan pajak senilai Rp2,5 mestinya diarahkan ke tim kurator.
“Aset PT SPA ada pada kutorator. Kenapa kasus temuan kekurangan pajak selama 10 bulan pada 2013 baru ini baru diproses tujuh tahun berikutnya oleh Kanwil DJP Jatim II. Kenapa kok tidak diperiksa pada 2014 atau 2015. Ada apa? Kalau memang di tahun 2020 baru diperiksa, seharusnya DJP tidak tutup mata kalau di tahun 2019 sudah terjadi pailit,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri (Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri) Kabupaten Mojokerto, Rizky Raditya Eka Putra menyatakan, tuntutan terhadap terdakwa berdasarkan sejumlah pertimbangan dan fakta yang muncul selama persidangan. “Salah satu pertimbangannya belum ada pengembalian sama sekali dari pihak terdakwa,” jelasnya.
Tuntutan denda dua kali lipat dari kerugian negara pada pendapatan pajak, menurut Rizky, juga sudah sesuai dengan ketentuan yang belaku. Disebutnya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan status pailit tidak menghapus kewajiban pembayaran pajak oleh wajib pajak.
“Jauh sebelum PT SPA dinyatakan pailit, pihak pajak sudah melakukan penagihan. Sebenarnya yang bersangkutan sudah diberitahukan ada tagihan pada 2016 kalau ada kekurangan pajak, tapi tidak diindahkan oleh Ronny,” urainya.
Sebelumnya, Direktur PT SPA, Ronny Widharta ditahan Kejari Kabupaten Mojokerto sejak 7 Desember 2022 karena diduga mengemplang PPN senilai Rp2,5 miliar hasil transaksi penjualan produknya. Terdakwa diduga tidak menerbitkan faktur dan/atau menerbitkan faktur tidak sesuai penjualan.
Terdakwa diduga tidak menerbitkan faktur dan/atau menerbitkan faktur tidak sesuai penjualan selama periode Januari-Februari 2013 dan Mei-Desember 2013. Nilai per sekali transaksi pembelian produk baja dari pabrik yang beralamat di Jalan Raya Perning, Kecamatan Jetis, itu mencapai Rp1 miliar dengan PPN 10 persen sebesar Rp100 juta. [tin/ted]
Komentar