Peristiwa

Bedah Prasasti Sanga (2)

Nama Lamongan dan Kembangbahu Sejak Era Singhasari

lamongan sejarah
Sarasehan Bedah Prasasti Sanga, di Halaman Makam Syekh Jamaluddin, Dusun Songo, Desa Sukosongo, Kecamatan Kembangbahu, Lamongan.

Lamongan (beritajatim.com) – Nama ‘Lamongan’ diduga telah ada sejak zaman kerajaan Singhasari dulu. Dugaan itu berdasarkan petunjuk yang tertuang dalam potongan atau bagian Lempeng II Prasasti Sanga.

Supriyo, Pegiat Sejarah dan Budaya Lamongan mengungkapkan bahwa dalam Prasasti Sanga disebutkan jika Lamongan dan Kembangbahu adalah dua nama wilayah yang dijabat oleh Juru Samya (pejabat kerajaan).

Selain itu, kedudukan Kembangbahu dan Lamongan kala itu sudah membawahi beberapa wilayah desa, yang setara dengan jabatan pembantu Bupati (Wedana) atau Camat.

“Di Lempeng II Prasasti Sanga itu menyebutkan tentang para pejabat kerajaan yang hadir sebagai saksi dalam pemberian status Sima, yakni pejabat (Juru Samya) yang berkedudukan di Kebangawu (kembangbahu) dan di Lamonan (Lamongan). Pejabat ini mendapat hadiah pasek-pasek, seperangkat pakaian dan uang 1 masa,” ungkap Supriyo, Sabtu (24/6/2023).

Supriyo menjelaskan bahwa Prasasti Sanga merupakan prasasti yang berisi penetapan tanah sima (perdikan). Desa Sanga, yang disinyalir sebagai Dusun Songo, Desa Sukosongo, Kecamatan Kembangbahu, Lamongan (sekarang) adalah desa berstatus Sima Swatantradeg Ringgit, yang berarti sebuah desa perdikan yang memiliki otonomi penuh serta hak-hak istimewa.

Prasasti Sanga, sambung Supriyo, menyebutkan banyak desa sekitar yang menjadi batas wilayahnya, di antaranya Desa Bugel (Bagel), Desa Padang, Desa Kabalan (Balan), Desa Pagajutan (Mergayu), Desa Kalagyan (Kalangan), Desa Limbeyyan (Lambeyan), Kali / Lwah Gunggung (Kedung Glonggong) dan Lipung (Kalipang).

Baca Juga:
Petunjuk Desa Sima dan Sejarah Kerajaan di Lamongan

“Batas-batas Desa Sanga yang disebut itu menunjukkan bahwa desa-desa tersebut memiliki masa sejarah yang sejaman. Terkecuali Desa Kedung Glonggong dan beberapa dusun di wilayah Sanga yang tumbuh dan berkembang kemudian,” terangnya.

Desa Sanga yang sebelumnya desa biasa ini berubah menjadi desa perdikan dengan beberapa hak dan kewenangan khusus yang ditetapkan, misal kewenangan untuk mempekerjakan orang cebol, bondan, pujut, wwol, wungkuk, bule sebagai abdi dalem (wwenang i jro).

Lalu wewenang memakai pakaian dengan motif dan pola tertentu seperti yang biasa dikenakan oleh kalangan istana, termasuk makanan yang dimakan.

Tak cukup itu, tutur Supriyo, juga terdapat sebuah bangunan suci dharma ring Sanga yang merupakan milik warga Sanga dan pemeliharaannya menjadi tanggung jawab Desa Sanga, namun tidak diketahui siapa tokoh yang didharmakan (disemayamkan) di tempat bangunan suci tersebut, karena prasasti yang ditemukan tidak lengkap.

“Meski saat ditemukan kondisinya tidak lengkap, tapi bagian inti dari prasasti masih dapat diketahui. Prasasti Sanga dapat jadi petunjuk awal tentang peradaban masa lalu yang pernah ada di Desa Sukosongo dan desa sekitar yang disebut, juga menjadi kunci pembuka terhadap kesejarahan masa kerajaan kuna di Kabupaten Lamongan, utamanya di wilayah Kecamatan Kembangbahu,” paparnya.

Apakah penyebutan nama Lamongan dalam Prasasti Sanga ini mampu menjadi antitesis dari sejarah Lamongan yang selama ini digaungkan dan menggeser penentuan Hari Jadi Lamongan yang kini berusia 454 tahun?

Seperti diketahui sebelumnya, nama Lamongan berasal dari tokoh pada masa dulu yakni Rangga Hadi, yang mendapat julukan Mbah Lamong dari rakyatnya lantaran pandai Ngemong Rakyat, pandai membina daerah dan mahir menyebarkan ajaran Islam sehingga dicintai oleh seluruh rakyatnya. Berawal dari cerita itu, kata Mbah Lamong lalu berubah menjadi Lamongan untuk menamai daerah ini.

Penobatan Rangga Hadi atau disebut pula Tumenggung Surajaya menjadi Adipati Lamongan pertama dilakukan oleh Kanjeng Sunan Giri IV yang bergelar Sunan Prapen. Penobatan tersebut bertepatan dengan hari pasamuan agung yang diselenggarakan di Puri Kasunanan Giri di Gresik, bertepatan dengan peringatan Hari Besar Islam, Iduladha tanggal 10 Dzulhijjah 976 H atau Hari Kamis Pahing tanggal 26 Mei 1569 M.

Baca Juga:
Situs Jetis Lamongan Mulai Diekskavasi untuk Penyelamatan

Menanggapi hal ini, Supriyo berkata bahwa masih diperlukan penelusuran kesejarahan lebih dalam lagi, termasuk perlunya kajian dan penelitian lebih lanjut terhadap Prasasti Sanga sebagai bahan penulisan kesejarahan desa maupun wilayah di Lamongan.

“Terutama penelusuran yang berkaitan dengan masa atau pertanggalan prasasti, karena prasasti yang ditemukan kondisinya tidak lengkap, hanya 2 Lempeng saja. Sekaligus perlunya penelusuran terhadap konteks lokasi yakni Desa Sanga (Sukosongo), berkaitan dengan jejak kerajaan tempo dulu, baik di kawasan makam Mbah Jamaludin maupun sekitarnya,” tukasnya.

Masih kata Supriyo, sejumlah prasasti yang ditemukan di Lamongan itu rata-rata menyebutkan tentang peradaban abad 10-15 masehi atau sekitar masa Mataram Kuna (Kahuripan) hingga masa Majapahit. Seperti Prasasti Cane, Patakan, Baru, Pamotan, dan Bularuk yang berasal dari masa Kerajaan Airlangga. Lalu Prasasti Gondang, Balawi dan Biluluk 1-4 dari masa Majapahit.

“Penanggalan di prasasti yang ditemukan di Lamongan itu rata-rata dalam rentang abad 10 sampai 15 masehi. Termasuk Prasasti Sanga yang menyebutkan nama Kembangbahu (Kebangawu) dan Lamongan (Lamonan) yang kami duga dari masa Kerajaan Singhasari,” tandasnya.

Lebih dalam terkait nama Lamongan yang disebutkan di Prasasti Sanga, Supriyo menegaskan bahwa hal ini sangat dimungkinkan jika usia Lamongan sebenarnya lebih tua jika dibandingkan dengan usia 454 tahun versi cerita Rangga Hadi.

“Sangat berpotensi jika usia Lamongan ini sebenarnya lebih tua, lebih dari 454 tahun. Sebab kedudukan Lamongan malah sudah dijabat oleh seorang Juru Samya (pejabat kerajaan), bukan lagi seorang Rama atau Kepala Desa,” pungkasnya. [riq/beq]


Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks



Apa Reaksi Anda?

Komentar