Mojokerto (beritajatim.com) – Kota Mojokerto tidak saja dikenal sebagai Kota Onde-onde, namun ada juga kerajinan sarung tenun ikat yang ada sejak 37 tahun lalu. Dialah Faris Abdat (36) yang merupakan generasi ketiga meneruskan usaha keluarga.
Warga Jalan Pemuda, Kelurahan Gedongan, Kecamatan Magersari, Kota Mojokerto ini konsisten mengembangkan usaha sarung tenun ikat warisan sang kakek. Selain membuka toko oleh-oleh haji, produksi kain tenun tersebut dikerjakan di bagian belakang rumah.
Ada lima alat tenun manual yang dikerjakan tangan ibu-ibu berdaster yang begitu cekatan. Termasuk sejumlah pekerja lain yang turut sibuk memilah, memberikan warna, mengelos, mengikat hingga merangkai benang sebelum ditenun.
Hingga pada akhirnya menjahit untuk dibentuk menjadi sarung sebelum di-packing dan diedarkan. Secara langsung, anak kedua dari tiga bersaudara ini memantau setiap pekerja dalam merangkai sehelai demi helai benang hingga menjadi kain.
“Ini dulu usaha kakek sejak tahun 1986, diterusin sama abah, kemudian saya. Kalau dihitung sampai sampai sekarang, ya 37 tahun. Semua pekerjaan menggunakan tangan atau manual, kecuali menjahit kain menjadi sarung,” ungkapnya, Kamis (12/1/2023).
Kecuali menjahit kain menjadi sarung, ia sudah menggunakan mesin listrik. Sebagai pewaris usaha keluarga, Faris tak memungkiri jika persaingan produksi sarung tenun ikat ke depan akan semakin sengit karena hampir semua produk sarung sudah berevolusi menjadi industri tekstil.
“Secara kuantitas, memang jumlah sarung kini semakin melimpah dan variatif. Namun karena kami mengerjakan secara manual, saya bisa menawarkan harga lebih mahal dari kain sarung produksi pabrik. Karena kualitas dan konsistensi menjadi kunci utama,” katanya.
Untuk harga sarung tenun ikat produksinya, mulai Rp150 ribu sampai Rp450 ribu. Soal pemasaran, Faris mengaku punya sasaran tersendiri, baik secara lokasi maupun konsumennya. Yakni kaum santri hingga jemaah haji yang paling banyak meminati.

“Karena semuanya adalah handmade jadi harga sarung terendah Rp150 ribu dan tertinggi Rp450 ribu. Dengan kerja tangan, maka ketelitian, ketelatenan, dan istiqamah menjadi lebih dinilai dari pada buatan pabrik. Pemasaran kaum santri di daerah Jawa Tengah dan Timur Tengah,” ujarnya.
Pemasaran paling banyak daerah Jawa Tengah seperti Solo atau Magelang. Ia mengaku, jelang Hari Raya Idul Fitri, Lebaran Haji atau ketika santri mulai masuk pondok, maka pesanan sangat banyak. Dalam sehari, ia bisa memproduksi maksimal hingga 20-25 pcs sarung.
“Kalau pas ramai seperti itu, saya masih bisa mendapatkan untung bersih sebesar Rp20 juta. Saya berharap, ke depan aktivitas usaha tenun masih bisa eksis dengan dibukanya kesempatan pemasaran dan tidak lagi dibatasi oleh aturan. Seperti saat Pandemi Covid-19 kemarin,” tegasnya. [tin/suf]
Komentar