Apa yang membedakan militer Indonesia (TNI), Turki (TSK), dan Mesir saat ini? Militer Indonesia telah kembali ke barak. Menanggalkan peran dan fungsi sosial politik, yang menjadi bagian integral dari konsep middle way militer Indonesia yang dikenal dengan sebutan dwi fungsi (fungsi hankam dan fungsi sospol). Reformasi 1998 ditandai dengan minggirnya kaum bersenjata dan berseragam doreng ke tangsi militer.
Militer Turki atau Turk Silahli Kuvvetleri (TSK) adalah kekuatan pembentuk republik Turki modern, dengan tokoh sentral Mustafa Kemal Attartuk (Mustofa Kemal yang Agung). TSK menjadi pengusung dan pengawal kredo ideologi Kemalisme–Sekulerisme ala Turki–yang digagas dan diterapkan rezim Mustafa Kemal Attartuk dan rezim politik setelahnya. Menjadi pengawal ideologi Kemalisme, militer Turki adalah memiliki banyak privilige politik, ekonomi, dan sosial yang tak dimiliki warga dan kelompok politik pada umumnya sampai dengan tahun 2002.
TSK atau militer Turki beberapa kali melakukan kudeta, karena memandang rezim sipil yang berkuasa membahayakan kelangsungan hidup ideologi Kemalisme. Kudeta militer Turki terakhir terjadi pada 2016 untuk menggulingkan Presiden Recep Tayyip Erdogan dari Partai Keadilan dan Pembangunan Turki (AKP).
Namun gagal. Kudeta itu dibayar mahal. Banyak petinggi militer diadili. Lembaga peradilan dan birokrasi dibersihkan dari anasir-anasir politik yang membahayakan rezim Erdogan. Perguruan tinggi dan pers tak luput dari pembersihan politik besar-besaran yang dilakukan Erdogan.
Kudeta militer Turki sebenarnya bukan fenomena pertama di tahun 2016. Jauh sebelumnya, pada tahun 1960, 1971, 1980, dan 1997, militer Turki juga melakukan kudeta, termasuk kudeta terhadap Perdana Menteri Turki dari kalangan Islam yang terkenal:
Necmetin Erbakan. Islamisme, Kemalisme, dan Militerisme adalah 3 ideologi politik yang berakar urat kuat dalam struktur masyarakat Turki modern. Trend penguatan pemerintahan sipil dan civil society di Turki tak bisa dilepaskan dari posisi politik negara ini yang berada di antara Benua Asia dan Eropa, keanggotaan Turki di Uni Eropa, dan ideologi AKP sebagai partai penguasa di Turki selama 17 tahun terakhir yang bersifat inklusif dan tak rigid dalam memperjuangkan Islam Politik dalam gerakan kepartaiannya.
“Ini adalah upaya kudeta bukan oleh militer, tapi oleh faksi di militer. Dan faksi ini jelas salah perhitungan. Mereka berpikir sisa militer yang tak melakukan kudeta akan bergabung dengan mereka setelah kudeta ini dimulai, dan perhitungan ini telah gagal,” ucap Henri Barkey, Direktur Program Timur Tengah di Woodrow Wilson International Center for Scholars kepada Radio NPR sebagaimana dilaporkan Tirto.id.
Kalau Indonesia dan Turki militernya dengan penuh kesadaran dan atau setengah paksaan politik, telah menarik mundur dari garis demarkasi politik sipil, tak demikian dengan Mesir. Militer Mesir tetap mengukuhkan peran dan fungsi politik, keamanan, sosial, ekonomi, dan budaya secara luas. Jenderal Fattah al-Sisi, Presiden Mesir sekarang, sebelumnya merupakan perwira tinggi militer Mesir yang dipercaya Presiden Moh Mursi (almarhum), aktivis organisasi Islam paling kuat di Mesir dan Timur Tengah: Ikhwanul Muslimin, yang terpilih melalui pemilihan umum secara demokratis pertama di Mesir tahun 2012.
Mursi tak sampai 2 tahun menduduki jabatannya. Iklim politik yang tensinya terus memanas saat Mursi akan menggegolkan sejumlah kebijakan yang watak dan substansi Islamnya sangat kental, maka kekuatan lain, seperti kaum Nasionalis, kaum Sekuler, dan kaum militer merasa terancam kepentingannya dan kelangsungan hidupnya tak nyaman. Kenyataan ini mengundang militer Mesir masuk kembali ke gelanggang politik, dengan argumentasi menyelamatkan demokrasi dan negara.

Jenderal Fattah al-Sisi jadi perwira tinggi keempat yang berkuasa di Mesir, setelah Jenderal Gamal Abdul Nasser pada 23 Juli 1952, Jenderal Anwar Sadat, dan Marsekal Hosni Mubarak. Jenderal Gamal memegang jabatan politik setelah melancarkan kudeta bersama sejumlah perwira yang tergabung dalam Perwira Bebas berhasil menggulingkan Raja Faruq yang dikenal korup dan dekaden. Jenderal Gamal Nasser dikenal sebagai pemimpin Mesir kharismatik dan dia memangku jabatan presiden setelah kudeta tersebut. Wakil Presiden dipercayakan kepada Jenderal Anwar Sadat.
Awalnya relasi politik antara Jenderal Gamal dengan kekuatan Ikhwanul Muslimin (IM) sebagai organisasi berbasis Islam paling kuat di Mesir, tak diselimuti ketegangan dan perbedaan politik tajam. Keduanya makin bisa menjalin komunikasi. Namun demikian, dalam perkembangan kemudian, Jenderal Gamal dengan rezim militer bersama kelompok Sekuler Mesir membangun konstruksi ideologi politik baru yang disebut Sosialisme Arab.
Sebagaimana ditulis Dr Muhammad Najib (2019), di sisi lain, IM sebagai kelompok oposisi mengembangkan ideologi perlawanan dengan menggunakan spirit Islam yang kuat dan militan. Lantas apa yang membedakan antara kubu militer Jenderal Gamal yang disokong kelompok Sekuler dengan IM yang berhaluan Islam.
Pertama, dalam sikap terhadap Barat, kekuatan IM melihat Westernisasi dan Kristenisasi sebagai bagian dari imperialisme yang mengancam keyakinan dan nilai-nilai Islam. Sedang Jenderal Gamal Nasser menempatkannya lebih pragmatis, dan ingin memanfaatkan kemajuan Barat khususnya dalam hal materi, organisasi, dan modernisasi ekonomi. Kedua,
IM melihat bahwa di balik imperialisme ada konspirasi antibudaya Islam yang dilatarbelakangi spirit Perang Salib. Sementara itu, Jenderal Gamal Nasser melihat imperialisme hanya sebagai perbudakan ekonomi yang merupakan konsekuensi dari paham Kapitalisme yang dianut Barat. [air/bersambung]
Komentar