Berbicara tentang populisme Islam di Turki tak mungkin melepaskan diskursus tentang Adalet veKalkinma Partisi (Partai Keadilan dan Pembangunan/AKP) yang dipimpin Tayyip Reccep Erdogan.
Kekuatan politik ini berkuasa di Turki sejak awal tahun 2000-an hingga sekarang. Adalet ve Kalkinma Partisi merepresentasikan kekuatan Islam yang sukses di level civil society sekaligus struktur kekuasaan politik negara tersebut.
Di sisi lain, Ikhwanul Muslimin (IM) Mesir begitu mengakar kuat di ranah civil society masyarakat negara itu, kendati organisasi ini lebih sering berhadap-hadapan dengan rezim politik yang berkuasa.
Nyaris IM tak pernah bersinergi secara politik dengan kekuasaan politik di Mesir yang lebih banyak diperintah elite militer: Dari era Presiden Jenderal Gamal Abdul Nasser, Anwar Sadat, Hosni Mubarak, dan sekarang ini Jenderal Abdul Fattah Al Sisi.
Mengalami terus-menerus tekanan dari penguasa politik dan militer tak menjadikan IM mengecil dan terkubur di jaringan sosial masyarakat Mesir. Organisasi yang didirikan Hassan Al Banna pada 1923 di Ismailiyah ini tetap eksist
dengan akar sosiologis, kultural, dan politisnya sulit dijebol dari struktur masyarakat Mesir.
Bagaimana dengan Indonesia? Populisme Islam baru di Indonesia diwakili banyak organisasi sosial dan politik. Terjadi apa yang disebut fragmentasi organisatoris dalam konteks ini.
Ada begitu banyak ormas Islam di negeri ini, sekali pun secara garis besar bisa
dikelompokkan dalam dua aliran.
Pertama, ormas Islam Tradisional, dengan NU sebagai patron utamanya. Kedua, ormas Islam Modernis yang memposisikan Muhammadiyah sebagai kekuatan mainstrem di dalamnya.
Selain NU dan Muhammadiyah, sejumlah ormas Islam juga eksist dan mempunyai kepemimpinan dari level nasional sampai lokal, seperti Persatuan Tarbiyah (Perti), Persis (Persatuan Islam), Syarikat Islam (SI), Nahdlatul Wathan (NW), Front Pembela Islam (FPI), dan lainnya.
Pembelahan di ranah politik yang terkait dengan kekuatan Islam juga lebih heterogen dan banyak, kendati hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menempatkan Islam sebagai ideologi politiknya.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN) merupakan kekuatan komunitas politik Islam secara substantif.
Kedua partai ini merepresentasikan dua kekuatan utama mazhab Islam di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah.
Kendati keduanya tak memiliki relasi struktural-formal dengan kedua ormas Islam tersebut. Yang terbangun adalah relasi kultural, historis, sosiologis, dan psiko-politik antara kedua partai itu dengan kedua ormas Islam besar di Indonesia
tersebut.
Apakah kekuatan populisme Islam di Indonesia sedang berkembang di era kekinian dan bakal menjadi kekuatan otonom di masa depan? Vedi R
Hadiz (2019) mengemukakan, populisme Islam di Indonesia boleh jadi memang sedang berkembang, tapi belum menjadi suatu kekuatan sosial yang
otonom.
Hal itu terjadi, karena terjeratnya populisme Islam di Indonesia dalam persaingan antarfaksi oligarkis yang mendominasi kancah politik Indonesia di masa sekarang.
“Oligarki di masa reformasi bersifat sangat terdesentralisasi dengan elemen-elemen yang saling bersaing, tanpa memiliki pusat kekuatan tunggal. Keluarga Cendana, misalnya, sudah tak mampu memainkan peran seperti itu. Bagaimana
pun juga, hal tersebut tidak berarti bahwa terjadinya aksi bela Islam yang sekarang
kesohor itu sama sekali lepas dari keterlibatan kekuatan-kekuatan oligarkis. Itu
praktis mustahil mengingat konteks terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut ditandai oleh persaingan ketat dan pahit untuk menguasai kursi nomor pemerintahan DKI Jakarta, satu posisi amat strategis secara politik dan
ekonomi. Persaingan itu adalah representasi langsung dari faksi-faksi oligarkis utama yang belakangan diwujudkan lewat suatu proses negosiasi dan pembangunan koalisi yang serba kompleks,” kata Vedi R Hadiz.
Indonesia, Turki, dan Mesir adalah negara berpenduduk mayoritas muslim. Ketiga negara ini juga melakukan perubahan politik, sosial, dan ekonomi secara signifikan. Dalam konteks akses politik wakil-wakil Islam di ketiga negara tersebut memperlihatkan gambaran tak serupa.
Di Turki, wakil Islam dalam 20 tahun terakhir mendominasi kekuasaan politik kenegaraan tersebut. Di Indonesia, wakil Islam terus- menerus gagal melakukan hal yang sama. Kasus di Mesir bisa dibandingkan dengan di Indonesia dan Turki.
Mesir, negeri yang dikenal dengan piramida itu, Ikhwanul Muslimin berhasil mendominasi oposisi yang berbasis di masyarakat madani selama berpuluh-puluh tahun, tapi tak mampu mempertahankan kekuasaan negara begitu diberi kesempatan untuk melakukannya, yakni di era Presiden Mohammad Mursi. Sangat terlalu pendek rezim Mursi memegang kendali pemerintahan di Mesir, karena keburu diguncang ketidakstabilan politik akibat kebijakannya yang dipandang
membahayakan kepentingan komunitas politik domestik lain di Mesir.
Mursi dijatuhkan militer yang memperoleh back up dari komunitas politik Mesir lainnya di luar Ikhwanul Muslimin.
Hadiz (2019) mengatakan, memang ada banyak kesamaan antara posisi keluarga Soeharto di Indonesia dalam oligarki yang diciptakan Orde Baru dan posisi keluarga Mubarak dalam sekutu mereka di Mesir.
Kasus Indonesia jauh lebih problematik karena sebab-sebab yang terkait dengan hadirnya kaum borjuasi besar yang berbudaya Islam, dan dominasi yang telah berlangsung lama oleh etnik China yang tak termasuk dalam definisi umat. Tidaklah kebetulan, dari sudut pandang ini bahwa dalam kasus Indonesia pulalah,
populisme Islam baru mencapai keberhasilan terbatas ketimbang di Turki dan Mesir, terlepas dari tantangan atau kemunduran yang dialami di negara-negara itu (Hadiz, 2019:76).
Sedang di Turki sebaliknya. Populisme Islam baru berkembang sebagian besar sebagai respon terhadap pemerintahan Kemalis yang cukup solid dan berbudaya sekuler, yang cenderung otoriter dan telah lama memegang tampuk kekuasaan atas
aktifitas perekonomian Turki.
Fragmentasi organisatoris Islam di Indonesia adalah salah satu dimensi yang mengakibatkan pluralitas kelembagaan populisme Islam di Indonesia. Faktor lain yang mendorong populisme Islam di Indonesia tak sekuat di
Mesir dan Turki, kendati secara kuantitas jumlah warga Muslim di negara ini lebih besar dibanding di Turki dan Meski, adalah absennya kaum borjuasi besar Islam yang bisa dikategorikan dalam konsep umat.
Walaupun kaum borjuasi yang lebih baru yang disebut pribumi dan dengan demikian secara kultural lebih Islami, telah muncul pada periode akhir periode otoritarian Orde Baru Soeharto (Sidel, 2006: 53-54), mereka tak berakar kuat di dalam jaringan sosial dan politik Islam yang ada, dan juga tak dalam posisi apapun untuk bisa menantang konglomerat bisnis China yang dominan selama puluhan
tahun. Nyatanya, sosok-sosok penting dalam kaum borjuis pribumi era Orde Baru adalah anak-anak Soeharto, kerabat dekat, dan sejumlah kroninya sendiri (Hadiz, 2019: 83).
Baik di Indonesia, Mesir, dan Turki, modernisasi yang dipimpin kaum elite sekuler
dengan mengadaptasi model pembangunan ala negara-negara Barat, senantiasa menimbulkan kesenjangan dan marjinalisasi sosial dalam bentuk baru. Karena itu, kaum populis Islam–sebagai kekuatan mayoritas– seringkali mengambil posisi utama dalam memperjuangkan dan mempromosikan isu-isu keadilan sosial,
pemerataan pembangunan, pengentasan kemiskinan, pemberantasan korupsi negara, dan pencegahan penyalahgunaan kekuasaan.
Bagaimana hasil akhirnya? Yang penting dicatat dalam konteks Indonesia, agen-agen populisme Islam tidak pernah memperoleh sejenis kemenangan simbolis. Idiom Islam tak begitu mudah diserap ke dalam masyarakat negara pascakolonial Indonesia, sebagian karena tidak adanya otoritas keagamaan yang diakui, seperti Al Azhar di Mesir, untuk menfasilitasi proses itu pada akhir periode kolonial. Bahkan, negara pascakolonial awal punya banyak masalah dalam menghadapi
gerakan-gerakan Islam yang beroperasi di luar lembaga politik formal yang baru (Hadiz, 2019:122). [air/habis]
Komentar