Indonesia membuat sejarah dengan menerima Deklarasi Wina yang mendukung kedudukan perempuan pada 1993. Di sana disebutkan “Hak asasi perempuan serta anak adalah bagian dari hak asasi yang tidak dapat dicabut (inalienable), integral, dan tidak dapat dipisahkan (indivisible).”
Seperti melanjutkan semangat Deklarasi Wina, dua dasawarsa setelah masa Reformasi, negara memberikan ruang besar kepada kaum perempuan untuk terlibat langsung dalam kontestasi politik kepemiluan. Perempuan mendapat kesempatan untuk menjadi aktor, baik di lembaga kepemiluan maupun partai politik. Terlibatnya perempuan dalam pusaran demokrasi ini tak lepas dari sejumlah affirmative action atau kebijakan politik yang dituangkan dalam sejumlah regulasi.
Undang-Undang Dasar 1945, tepatnya pada pasal 28c ayat 2, menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Ini artinya perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam mengekpresikan kepentingannya secara massif, bukan hanya dalam konteks menyuarakan kepentingan itu, tapi juga diberi kesempatan dan akses kebijakan untuk menduduki jabatan publik sehingga bisa memperjuangkan hak kaum perempuan sendiri.
Apa yang sudah ditegaskan dalam UUD 1945, dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang memberikan kesempatan kepada kaum perempuan untuk bersaing dengan kaum pria dalam menduduki posisi strategis di ranah publik dalam urusan kepemiluan.
Pertanyaan penting muncul: mengapa perempuan harus terlibat aktif dalam penanganan pemilu? Pertama, untuk menjaga keseimbangan dan mengakomodasi kepentingan perempuan sendiri yang selama bertahun-tahun dianggap sebagai warga negara kelas dua dalam urusan politik. Kedua, mewujudkan affirmative action yang didorong oleh negara mewujudkan kesetaraan gender dan keadilan sosial.
Perempuan sejatinya memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan pemilu yang tak kalah dibandingkan perempuan. Kaum perempuan memiliki kompetensi, kecakapan, dan kualitas sumber daya yang bisa disetarakan dengan lelaki. Bahkan dalam hal berkomunikasi, kaum perempuan memiliki kemampuan yang lebih baik dan lebih bisa diterima oleh berbagai lapisan masyarakat.
Kemahiran perempuan mengerjakan dua urusan sekaligus dalam satu waktu sebagai profesional di ranah publik sekaligus istri dan ibu di ranah domestik merupakan kemahiran multitasking yang tidak dimiliki kaum pria. Kemampuan multitasking ini tentu sangat dibutuhkan dalam penyelenggaraan pemilu. Dengan kemampuannya itu, perempuan senantiasa dituntut untuk berpikir inovatif dan kreatif, selain berkomunikasi dengan banyak pihak.
Besarnya beban yang ditanggung kaum perempuan di ranah domestik dan publik membuat perempuan memiliki kemampuan memanajemen emosi mereka. Mereka mudah bersimpati dan berempati terhadap ketidakadilan, dan ini bagus untuk menciptakan pemilu yang berkeadilan, termasuk merangkul kelompok-kelompok marjinal yang selama ini tak begitu peduli dengan pemilu.
Opini masyarakat terhadap perempuan penyelenggara pemilu juga tidak buruk. Publik memandang positif kehadiran perempuan dalam penyelenggaraan pemilu. Ini menunjukkan bahwa kinerja yang bagus oleh perempuan penyelenggara pemilu mendapat apresiasi sepantasnya dari masyarakat.
Sayangnya, di tingkat penyelenggara pemilu, baik Komisi Pemilihan Umum RI, Badan Pengawas Pemilu RI, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI, tingkat keterwakilan perempuan belum maksimal. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 dan UU Nomor 7 Tahun 2017 sudah jelas mengatur keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam penyelenggaraan pemilu.
Namun, kalau kita melihat pada Pemilu 2019 dan Pemilihan Kepala Daerah 2020, keterwakilan perempuan baik di KPU RI, Bawaslu RI, dan DKPP, masih pada angka 20 persen dari total anggota keseluruhan. Sementara untuk keterwakilan perempuan di Bawaslu tingkat provinsi di seluruh Indonesia masih pada kisaran 21 persen. Semuanya belum memenuhi keterwakilan yang disyaratkan dalam undang-undang.
Sementara itu khusus untuk di Kabupaten Jember, tercatat ada 2.931 perempuan penyelenggara di lingkup Bawaslu hingga tingkat pengawas tempat pemungutan suara (PTPS). Jika diperbandingkan dengan jumlah 7.666 TPS pada Pemilu 2019, keterwakilan perempuan sudah mencapai 37 persen atau melebihi kuota yang disyaratkan.
Dengan kondisi ini, maka partisipasi perempuan sebagai penyelenggara pemilu harus terus didorong. Apalagi jumlah perempuan yang memiliki hak pilih dalam Pemilu 2019 lebih banyak 124 ribu orang dibandingkan kaum laki-laki.
Namun tentu saja tantangan yang dihadapi tidaklah mudah. Perempuan harus siap bekerja penuh waktu dalam penyelenggaraan pemilu. Mereka dituntut untuk memenuhi kodrat sebagai pelindung anak-anak dan pilar keluarga sekaligus tetap menjalankan tugas-tugas untuk menyukseskan pemilu.
Tentu di sini dibutuhkan dukungan semua pihak, terutama keluarga besar khususnya suami. Masyarakat juga tak perlu memandang sinis terhadap kaum perempuan yang terlibat di dunia politik. Kedua, perempuan juga harus bisa mempersiapkan mental saat bertugas di lapangan dan menghadapi berbagai macam persoalan.
Persiapan mental ini penting, karena kaum perempuan harus menangani potensi konflik yang biasa muncul dalam pemilihan umum. Namun sekali lagi di sinilah kapasitas kemampuan komunikasi perempuan diuji. Kita percaya di tangan perempuan, demokrasi tetap akan terjaga. []
* Penulis adalah Komisioner Bawaslu Kabupaten Jember 2018 – 2023
Komentar