Salah satu problem penanganan Coronavirus Disease (Covid-19) adalah bahasa. Terlalu banyaknya penggunaan bahasa Inggris dalam sosialisasi bahaya virus ini, membuat publik gagal menangkap pesan kewaspadaan dan justru terlibat dalam perdebatan yang tak perlu.
Berawal dari penamaan virusnya sendiri: Covid-19. Penamaan virus ini, terlepas dari memang sulitnya mencari padanan dalam kosakata bahasa Indonesia, tidak memicu imajinasi pada masyarakat tentang apa dan bagaimana bahayanya. Ini berbeda dengan virus seperti flu burung yang dari sisi penamaan sudah cukup memberikan penjelasan ringkas kepada masyarakat tentang bagaimana sosok virus ini.
Dalam wawancara dengan Deddy Corbuzier di Youtube, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebut virus itu sebagai pneuemonia Wuhan sejak Januari 2020. “Saat itu kita kan belum tahu namanya apa,” katanya. Penamaan dikarenakan kemiripan gejala penyakit ini dengan pneumonia dan flu.
Saat nama corona (atau korona) mulai dikenal publik melalui media massa, hal pertama yang populer bukan definisinya, melainkan akronim candaan yang dipopulerkan anggota Komisi IX DPR RI Ribka Tjiptaning. Korona: komunitas rondo mempesona. Mungkin corona atau korona terlalu manis untuk nama sebuah virus yang mematikan.
Lalu beredarlah anjuran via media sosial, entah siapa yang memulai dan punya ide, agar mengganti nama Covid-19 dengan Qif-19. Pesannya: corona berasal dari bahasa Arab qorona yang terdiri dari huruf qaf, ra, nun, yang diterjemahkan berhubung atau berterusan. Sementara qif dalam bahasa Arab berarti hentikanlah atau stop. Petuah Shakespeare tentang apalah arti sebuah nama tidak berlaku kali ini. Orang mulai berdoa agar wabah ini segera usai, dan itu dimulai dari penamaan.
Saat publik belum teredukasi dan waspada terhadap virus ini (salah satunya karena terlalu santainya pemerintah menanggapi penyebarannya), sosialisasi pencegahannya pun menggunakan bahasa asing: social distancing dan physical distancing. Orang tidak bisa membedakan dua hal ini. Pemerintah pun tidak banyak membantu dengan tetap menggunakan kosakata itu di spanduk-spanduk dan pernyataan pejabat. Intinya: jaga jarak.
Tidak ada penjelasan lebih, walau kemudian (syukurlah), sejumlah kalangan mencoba menyosialisasikan dengan cara populer seperti menggunakan kalimat yang tertulis di bak belakang truk: jaga jarak. Atau di kalangan suporter sepak bola, ada meme yang mencontohkan jaga jarak (selisih poin yang lebar) yang benar antara Liverpool sebagai pemuncak klasemen Liga Inggris 2019-20 dengan klub-klub lain.
Ada lagi istilah isolasi. Ini sebenarnya sudah masuk dalam kosakata bnahasa Indonesia. Namun, orang awam lebih mengenal ‘isolasi’ sebagai selotip atau perekat plastik berwarna bening. Ini juga menjadi bahan bercandaan.
Namun tak ada yang lebih seru ketimbang pertarungan antara pemerintah dan kelompok masyarakat sipil soal pemaknaan ‘lockdown’. Dalam bahasa Indonesia, kata ini diterjemahkan ‘kuncian’, yakni kebijakan pemerintah yang memblokir warga agar tidak keluar rumah, dengan tujuan membatasi penularan virus. Dengan ‘lockdown’, warga dilarang berkumpul dalam jumlah besar dan sejumlah fasilitas umum ditutup untuk mencegah kerumunan.
Pemerintahan Jokowi menolak ‘lockdown’, karena tidak sesuai dengan kondisi Indonesia. Tentu saja faktor ekonomi menjadi pertimbangan utama. Sementara itu di kalangan masyarakat, istilah itu mulai populer dan tentu saja dengan pengejaan yang terkadang keliru: mulai dari lock dont, laukdaun, hingga download. Namun sebagian dari mereka menerjemahkan dalam tindakan yang nyaris sama: menutup akses masuk ke kampung, desa, dan lingkungan bagi orang luar.
Lockdown menjadi kontroversial, dan muncul istilah ‘karantina wilayah’. Dalam konsep ini, hanya wilayah tertentu yang dikarantina dengan tujuan tidak ada warga yang keluar dan masuk. Namun sekali lagi, ada perbedaan tafsir soal karantina wilayah. Pemerintah pusat dan daerah sama-sama gamang.
Terakhir, Selasa (31/3/2020) malam ini, Presiden Joko Widodo menyatakan pemberlakuan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. PSBB menjadi opsi yang menutup perdebatan warga soal isu penerapan darurat sipil untuk mengatasi penyebaran Covid-19.
Namun apakah PSBB ini? “Penerapan PSBB memang ada dalam UU Karantina Kesehatan. Pelaksanaan beberapa hal sudah dilakukan, dimulai dari imbauan sampai pelaksanaan parsial oleh banyak daerah, baik formal maupun non pemerintah. Termasuk misalnya work from home, beraktivitas di rumah, pembatasan beribadah di tempat ibadah, adalah bagian pelaksanaan itu,” kata Muhammad Iqbal, doktor ilmu komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember di Kabupaten Jember, Jawa Timur.
Namun, menurut Iqbal, persoalan bukan pada tafsir, melainkan pada implementasi. Kejelasan implementasi ini yang ditunggu masyarakat, terutama dalam pemenuhan jaminan logistik untuk masyarakat yang bergantung pada pendapatan harian. “Pemilihan istilah PSBB menunjukkan bahwa pemerintah pusat tengah membagi tanggung jawab dengan pemerintah daerah, yang sebetulnya tanggung jawab pusat,” katanya.
Memang pada akhirnya, bahasa adalah urusan kontrol politik. Tidak ada representasi realitas di luar bahasa. Mungkin karena itu, perlawanan terhadap wabah juga berarti pertempuran tanpa rehat merebut pemaknaan ruang publik dengan bahasa. Siapa tahu. [wir/ted]
Komentar