Sorotan

Kontestasi Politik Domestik dan Ketidakpastian Global

Ainur Rohim (Direktur Utama dan Penanggung jawab beritajatim.com)

Bagaimana kita menyongsong dan menghadapi tahun 2023? Di level internasional dan nasional, 2023 dihadapkan pada kondisi yang tak mudah.

Mantan Presiden dan Perdana Menteri Rusia, Dmitry Medvedev, mengestimasikan sepanjang 2023 dunia dihadapkan pada kondisi ketidakpastian yang tinggi. Secara politik, catat Medvedev, banyak kejadian penting bakal berlangsung di sejumlah negara sepanjang 2023.

Medvedev yang dikenal sebagai politikus kawakan Rusia sekaligus sekutu dekat Presiden Vladimir Putin, meramal perang bakal pecah di Eropa dan Amerika Serikat pada 2023 mendatang.

Di Benua Eropa, menurutnya, bakal terjadi perang baru antara Jerman dengan Prancis pada 2023. Medvedev juga menyinggung soal pembagian kawasan di Eropa. Selain itu, bakal terjadi perang di Amerika Serikat, antara California dan Texas.

Medvedev juga meramal Inggris akan kembali bergabung dengan Uni Eropa. Yang menarik, organisasi Uni Eropa tak lagi penting dan bertahan lama usai London masuk.

Yang juga tak lepas dari ramalan Medvedev adalah tentang harga minyak dan gas dunia. Kedua komoditas ekonomi bernilai strategis ini diperkirakan mengalami lonjakan harga luar biasa dibanding di tahun 2022 dan tahun-tahun sebelumnya.

“Harga minyak akan naik menjadi US$150 [sekitar Rp2,3 juta] per barel, dan harga gas akan mencapai US$5.000 [sekitar Rp78 juta] per 1.000 meter kubik,” ramal Medvedev.

Mengacu pada ramalan yang disampaikan Medvedev, tentu warga dunia sepanjang 2023 bakal menghadapi realitas sosial ekonomi, politik, dan keamanan dengan nada pesimistis. Sejumlah kejadian besar dan penting di banyak negara besar di dunia tersebut dipastikan membawa multiplier effect luar biasa banyak negara lain, terutama negara sedang berkembang atau negara baru maju, termasuk Indonesia.

Sekadar komparasi politik di tahun 2022, perang Rusia versus Ukraina sejak Februari 2022 sampai hari ini dampak buruknya bagi perekonomian global sangat terasa. Rusia negara dengan kekuatan ekonomi, militer dan teknologi yang luar biasa besar.

Di Benua Eropa, Rusia adalah produsen minyak dan gas bumi terbesar. Tingkat lifting minyak Rusia mencapai 10 juta barel lebih per hari. Rusia bersama Amerika Serikat dan Arab Saudi adalah tiga negara produsen minyak terbesar dunia. Tiga negara ini tingkat lifting minyak dunia mereka per hari rata-rata di atas 10 juta barel.

Gas yang diproduksi banyak lapangan gas Rusia, baik offshore maupun onshore, jadi sumber energi primer dan penting bagi banyak negara di Eropa, seperti Jerman, Perancis, Italia, dan sejumlah negara Eropa lainnya.

Bagi Indonesia, perkembangan politik, ekonomi, dan keamanan global itu sangat mempengaruhi dinamika sosial ekonomi dan politik secara domestik. Misalnya, dalam relasinya dengan kemungkinan kenaikan harga minyak mentah dunia yang mungkin menyentuh di angka US$150 per barel.

Sekiranya realitas tersebut benar-benar terjadi, dipastikan terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sangat signifikan di Indonesia.

Maklum, sejak akhir tahun 1990-an dan awal 2000-an, Indonesia bukan lagi sebagai negara pengekspor minyak. Negara berpenduduk 320 juta jiwa lebih ini berubah menjadi negara pengimpor minyak.
Tingkat lifting minyak Indonesia sekarang berada di kisaran 650 ribu barel per hari.

Sedang demand domestik mencapai 1,5 juta sampai 1,6 juta barel per hari. Artinya, volume impor minyak mentah Indonesia per hari mencapai 850 ribu sampai 900 ribu barel per hari. Lifting minyak domestik lebih kecil dibanding lifting minyak impor per hari.

Dihadapkan pada problem lonjakan harga minyak dunia yang kemungkinannaik signifikan pada 2023 saja, dipastikan perekonomian nasional mendapatkan pukulan sangat berat. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi sekitar 5,7 persen di tahun 2022 dengan tingkat inflasi 5 persen, perekonomian Indonesia rentan terdampak pukulan perekonomian global yang diperkirakan makin kuat di tahun 2023.

Kekuatan ekonomi Indonesia adalah besarnya volume pasar domestik, dengan kekuatan market sekitar 320 juta jiwa penduduk. Indonesia bersama-sama dengan China, India, Amerika Serikat, Brasil, Rusia, dan Pakistan adalah negara dengan tingkat demografi sangat besar. Volume demografi yang besar membentuk market domestik yang besar pula, sejauh diimbangi dengan dinamika dan akselerasi perekonomian domestik yang luas dan kuat.

Tantangan kedua di tahun 2023 secara domestik adalah agenda kontestasi politik yang berlangsung di awal dan akhir 2024. Tahun 2023 menjadi tempo konsolidasi, persiapan, dan kampanye kekuatan politik partai dan capres-cawapres yang terjun di kontestasi politik Pilpres, Pileg, dan Pilkada 2024.

Kontestasi politik 2024 adalah kelaziman prosedur politik negara demokrasi seperti Indonesia. Ekspektasi politik melaksanakan demokrasi secara substantif jadi kebutuhan semua pihak, terkecuali elite politik yang berwatak otoritarian dan totalitarian despotik.

Tahun politik seperti Pileg, Pilpres, dan Pilkada biasanya mengakibatkan lingkungan sosial dan ekonomi berada di titik ketidakpastian. Apalagi di negara demokrasi yang berusia muda seperti Indonesia. Demokrasi Indonesia baru berusia 25 tahun, sejak 1999 hingga Pemilu 2024 mendatang.

Geliat perekonomian biasanya mengendur. Investor cenderung mengambil langkah wait and see sampai dihasilkan keputusan politik tentang elite rezim politik baru yang memegang tampuk kekuasaan di Indonesia.

Ekses politik dari kontestasi yang berlangsung sengit, terbuka, dan total adalah dipakainya prinsip zero sum game. Ekses lainnya adalah polarisasi politik, akibat kesadaran dan toleransi politik yang rendah. Penggunaan platform media sosial secara luas dan bebas di lapangan politik praktis rawan mengakibatkan munculnya polarisasi politik secara akut.

Di lapangan politik praktis, media sosial dalam perspektif positif melahirkan dan memperkuat demokrasi deliberatif. Sehingga membuka ruang dialog dan partisipasi politik yanh makin luas dan terbuka kepada policy maker oleh warga negara dari berbagai kanal komunikasi sosial dan politik.

Dalam perspektif negatif, media sosial bisa mengakibatkan polarisasi dan fragmentasi sosial di ranah masyarakat, mendorong terjadinya the spiral of silence, memperkuat masyarakat bersikap ekstrem, dan membuka peluang terjadinya doxing, trolling, dan bullying. Sebab, di media sosial tak ada proses klarifikasi, verifikasi, dan konfirmasi informasi.

Yang menjadi catatan penting dalam konteks keberadaan media sosial dengan lapangan politik praktis dan ekonomi adalah media sosial merupakan perangkat kekuatan surveillance capitalism. Dalam konteks ini, media sosial menjadi alat kekuatan kapitalisme global untuk mengawasi dan memata-matai warga di semua negara. Yang dimata-matai bukan aktivitas politik dan militer, tapi ekonomi dan bisnis orang per orang dengan perangkat keras yang sangat cerdas berupa handphone (HP).

Kita semua tentu masih ingat bagaimana dampak buruk media sosial di lapangan politik praktis Indonesia akibat Pilpres 2014 dan 2019. Polarisasi sosial dan politik di level grass root masih sangat terasa dan belum hilang 100 persen akibat kontestasi politik yang berlangsung keras dan terbuka di kedua hajatan pesta demokrasi tersebut.

Sekali pun para elite politik yang terlibat kontestasi sebagian telah merajut koalisi politik di panggung kekuasaan. Di level massa, polarisasi sosial politik terus menggema. Gaungnya makin keras, muncul serta terasa kembali menjelang kontestasi politik 2024.

Di tahun 2023, secara global dan domestik kita bakal menghadapi realitas sosial, ekonomi, politik, dan keamanan yang tak mudah. Penuh tantangan dan rintangan. Elite politik mesti memberikan gambaran utuh, faktual, jujur, dan terbuka kepada publik atas berbagai kemungkinan buruk tersebut.

Ainur Rohim, Penanggung Jawab beritajatim.com.

 



Apa Reaksi Anda?

Komentar