Sorotan

Apakah Kau Percaya Peri Ada?

Bulan

Apakah kau percaya peri ada? Pertanyaan itu ditanyakan salah satu kawan kepada beberapa orang, termasuk saya. Biasanya pertanyaan itu akan berlanjut: jika kau percaya hantu, setan, malaikat ada, mengapa kau tidak percaya peri ada?

Pertanyaan seperti itu tentu saja sulit dijawab. Ini bukan masalah saintifik, namun keyakinan. Dan kita tahu perangkat keyakinan, bisa dibentuk oleh apa saja. Orang-orang atheis menganggap konsep Tuhan dan hal-hal gaib lainnya hanyalah khayali manusia, dan itu bisa dirunut dari sejarah panjang peradaban: bahwa manusia selalu percaya ada sesuatu yang lebih tinggi yang menjadi kausa prima.

Saat menghadapi persoalan dan kesulitan, manusia menautkan diri dengan keimanan. Percaya bahwa akan ada Yang Maha Tinggi dan Maha Baik yang akan memberikan pertolongan. Saya kira, History of God karya Karen Armstrong cukup memberikan penjelasan tentang peradaban manusia yang tak bisa lepas dari keimanan. Itulah kenapa Tan Malaka dalam Madilog menolak untuk menghadapkan nalar dengan kepercayaan.

“Keberadaan Tuhan yang Esa, jiwa, akhirat dll itu bukanlah perkara yang bisa dipraktekkan, disusun menjadi hukum dan dilaksanakan seperti ilmu pengetahuan. Semuanya berdasar pada keyakinan yang tak sama pada beberapa orang dalam satu waktu atau pada satu orang dalam berlainan waktu.”

Armstrong tidak percaya pengalamannya tentang Tuhan adalah istimewa. “Gagasan saya tentang Tuhan telah terbentuk di masa kecil dan tidak berkembang lagi seperti pengetahuan saya dalam disiplin ilmu yang lain,” tulisnya.

Masa kecil memang menjadi pangkal awal pembentukan nilai-nilai dan keyakinan. Tak hanya soal ketuhanan maupun hal-hal imajinatif lainnya, tapi juga pemahaman tentang apa yang baik dan buruk, yang patut dan tidak. Dongeng menjadi salah satu mediumnya. Saya masih ingat betul bagaimana ayah saya selalu mendongengkan kisah-kisah setiap malam, tentang hewan-hewan dan manusia, yang saya tidak bisa membedakan mana yang fantasi dan nyata.

Hari ini, kita tertawa mendengar anak-anak bercerita tentang hal-hal khayali. Namun imajinasi bagi sebagian orang justru menyelamatkan dan menjaga kewarasan, seperti dalam film Life Is Beautiful (judul aslinya La Vita è Bella).

Pada suatu hari yang sial, ketika tentara Nazi menyerbu masuk, Guido Orefice, seorang pemilik toko buku di Arrezo, Italia, tak bisa menyelamatkan diri bersama Giosuè, putranya. Mereka digiring ke kamp konsentrasi dan hanya menunggu waktu untuk mati di kamar gas.

Guido tak tahu bagaimana takdir akan bekerja pada akhirnya. Tak ingin jiwa Giosuè dihancurkan sebelum kematian datang, ia mulai mengarang cerita untuk sang anak: mereka tengah dalam sebuah permainan untuk mengumpulkan angka terbanyak, dan Giosuè akan mendapat banyak angka jika mematuhi perintah sang ayah. Mereka akan bisa bertemu dengan ibu setelah permainan selesai. “Kau harus memperoleh ribuan angka. Setelah kau mendapatkan banyak angka, kau akan memenanginya,” kata Guido.

Giosuè tak percaya. Saat serdadu Jerman datang ke sel, Guido menawarkan diri menjadi penejermah untuk menjelaskan sejumlah aturan kepada para tahanan. Dia tidak bisa berbahasa Jerman, tentu saja. Dengan ngawur, dia memelintir penjelasan sang serdadu untuk menjelaskan aturan permainan agar Giosuè yakin.

“Yang bisa memenangkan ribuan angka akan mendapatkan tank. Dia sangat beruntung. Yang mendapat angka paling sedikit akan memakai papan nama ‘keledai’ di punggungnya. Kita akan bermain beneran. Siapa yang berteriak dan takut akan kehilangan angka,” katanya.

“Pertama, jika kau menangis kau akan kehilangan angka. Kedua, jika kau ingin bertemu ibumu, kau akan kehilangan angka. Ketiga, jika kau lapar dan ingin makan makanan ringan, lupakan saja,” Guido menjelaskan sambil menatap wajah Si Jerman dengan cemas. Para tahanan Italia saling toleh. Heran. Hanya Giosuè yang tersenyum senang.

Saya tertawa dan meneteskan air mata menyaksikan film ini. Saat Giosuè menyambut Guido yang memakai baju tahanan dengan nomor dan tanda bintang Dawud di dada baru pulang dari kerja paksa. Ini nomor pendaftaran lomba. “Ayah juga meletakkannya di sini,” kata Guido, menunjukkan cap angka di lengannya dan memberikan sekerat roti dari Nazi yang tak dimakannya untuk Giosuè.

Saya tidak tahu apakah teman saya yang percaya peri ada itu pernah menonton film ini. Namun dalam banyak hal, seperti juga Giosuè, imajinasi kadang memang dibutuhkan untuk membuat orang bertahan dari duka yang berkali-kali melukai hidup mereka. Tanpa atau dengan peri. [wir/ted]

Apa Reaksi Anda?

Komentar