Lamongan (beritajatim.com) – Rektor Universitas Islam Lamongan, H. Bambang Eko Muljono, SH.,S.pN.,MM.,M.Hum mengatakan bahwa dalam banyak kegiatan penyampaian pendapat para mahasiswa sering menggunakan dalih kebebasan akademik dan kebebasan menyampaikan pendapat karena dilindungi oleh hukum.
Menurut Bambang, batasan tersebut sangat tipis sekali, karena mahasiswa juga sebagai anggota masyarakat.
Sehingga pemahaman yang kurang tepat tentang hal ini kiranya dapat merusak perjuangan untuk mendorong Indonesia menjadi negara yang demokratis melalui kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik yang diperjuangkan saat reformasi.
Lalu kapan seseorang mahasiswa dapat menamakan diri sebagai mahasiswa dalam menyampaikan pendapat? dan kapan mahasiswa sebagai warga negara sebagaimana anggota masyarakat yang lainnya dalam menyampaikan pendapat?
Pada dasarnya, Bambang menjelaskan, konsep kebebasan akademik diakui dan dihormati secara universal. Di negara Indonesia, kebebasan akademik selalu dan dapat dikaitkan dengan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi : Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
“Kebebasan berpendapat yang ada di Indonesia adalah salah satu dari bagian hak asasi manusia yang di mana hal tersebut dilindungi dan dijamin oleh negara. Namun, penyampaian pendapat ini haruslah disertai etika agar tidak ada seorang pun yang merasa tersakiti oleh pendapat yang diutarakan dan tidak menimbulkan fitnah serta perpecahan atau melanggar kebebasan orang lain,” katanya.
Oleh sebab itu, tutur Bambang, tentunya dalam menyampaikan pendapat haruslah logis dan tidak asal mengutarakan pendapat. “Mereka harus menganalisa dan mengkaji kebijakan yang akan diprotes, sehingga mereka memiliki pendapat yang bisa mereka utarakan tanpa melanggar atau menabrak hak kebebasan orang lain,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Bambang juga menyebut, kebebasan akademik dalam peraturan perundangan telah diatur secara spesifik, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti).
Pada Pasal 8 ayat (1) UU Dikti itu jelas dan tegas menyatakan bahwa: Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.
“Dalam penjelasan Pasal 8 ayat (1) ditegaskan bahwa : Yang dimaksud dengan ‘akademik’ dalam ‘kebebasan akademik’ dan ‘kebebasan mimbar akademik’ adalah sesuatu yang bersifat ilmiah atau bersifat teori yang dikembangkan dalam Pendidikan Tinggi dan terbebas dari pengaruh politik praktis. Artinya bukan kebebasan yang sebebas-bebasnya, tapi dibatasi oleh kaidah keilmiahan,” papar Bambang.
Masih kata Bambang, kebebasan akademik merupakan tiang penyangga kehidupan perguruan tinggi. Kebebasan akademik, sebagaimana disebutkan oleh UNESCO, adalah kebebasan dalam mengajar dan berdiskusi serta kebebasan dalam meneliti, menyebarluaskan, dan menerbitkan hasil riset.
“Kebebasan akademik merupakan sesuatu yang fundamental di dalam masyarakat perguruan tinggi dalam rangka memberi jalan bagi lahirnya pikiran-pikiran ilmiah dari kaum intelektual kampus yang kreatif dan produktif dengan gagasan-gagasan barunya,” terangnya.
Dengan kebebasan akademik, Bambang menegaskan, intelektual kampus memiliki kebebasan untuk melaksanakan fungsinya sebagai akademisi atau mengimplementasikan tugas-tugas universitas tanpa intervensi kekuasaan luar.
“Hukum positif di Indonesia sudah mengakui akan adanya kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Hal itu dapat kita lihat pada UU Dikti yang secara jelas dan tegas telah mengaturnya pada pada Pasal 9 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 .
Bagaimana dengan mahasiswa, apakah mahasiswa mempunyai kebebasan akademik?
Bambang kembali menjelaskan bahwa saat seseorang menamakan diri sebagai mahasiswa, tentu berlaku ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) dan kebebasan akademik yang juga berlaku untuk mahasiswa.
“Mahasiswa, bersama dengan dosen dan tenaga kependidikan, adalah bagian dari civitas akademika atau warga akademik pendidikan tinggi,” tandasnya.
Bambang mengungkapkan lebih rinci, pasal 13 UU Dikti menjelaskan bahwa mahasiswa sebagai anggota civitas akademika diposisikan sebagai insan dewasa yang memiliki kesadaran sendiri dalam mengembangkan potensi diri di perguruan tinggi untuk menjadi intelektual, ilmuwan, praktisi, dan/atau profesional.
Sehingga mahasiswa secara aktif mengembangkan potensinya dengan melakukan pembelajaran, pencarian kebenaran ilmiah, dan/atau penguasaan, pengembangan, dan pengamalan suatu cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi untuk menjadi ilmuwan, intelektual, praktisi, dan/atau profesional yang berbudaya.
“Mahasiswa memiliki kebebasan akademik dengan mengutamakan penalaran dan akhlak mulia serta bertanggung jawab sesuai dengan budaya akademik,” ujar Bambang.
Kebebasan akademik, kata Bambang, dalam kerangka UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) inilah yang wajib dilindungi dan difasilitasi oleh pimpinan perguruan tinggi sebagaimana yang dimaksud Pasal 8 ayat (3) UU Dikti, yaitu didasari fakta dan data.
“Iya, wajib didasari fakta dan data, bukan kebebasan asmuni (asal muni) yang berdasar anggapan dan asumsi. Hal ini untuk mencegah terjadinya pencemaran nama baik atau pemanfaatan kampus untuk tujuan non pendidikan,” jelasnya.
Terakhir Bambang berharap, melalui penjelasan dan penyegaran pemahaman tentang kebebasan akademik dan kebebasan menyampaikan pendapat yang ia luruskan ini, kesalahan tafsir oleh civitas akademika tak akan terulang kembali
“Khususnya untuk civitas akademika agar kita tidak berulang kali membuat kesalahan tafsir dalam menghadapi kehidupan yang hari ini sudah memasuki era society 5.0 (smart society) pasca pandemi Covid-19 ini,” tutupnya.[riq/ted]
Komentar