Peluang Ekspor Indonesia di Tengah Geo Politik Internasional

AS dan Tingkok
Foto: Ilustrasi Bendera Amerika dan Tiongkok

Sebagai negara dengan karakteristik kecil dan terbuka (Small Open Economy), Perekonomian Indonesia sangat rentan terpengaruh oleh perekonomian dunia.

Pengaruh eksternal terkadang tidak dimulai dari kondisi ekonomi, tapi kondisi geo politik, sosial, perubahan konstelasi politik perdagangan dunia, bahkan faktor kesehatan dan lain sebagainya.

Selama 5 tahun terakhir (2018-2022) periode perang dagang antara Amerika vs Tiongkok, Amerika telah menetapkan tarif impor lebih dari 15% produk dari Tiongkok senilai kurang lebih 550 miliar US dollar.

Hal yang sama juga ditunjukan oleh Tiongkok terhadap produk produk dari Amerika. Selama 5 tahun periode perang dagang, volume perdagangan kedua negara terus merosot.

Ekspor Tiongkok ke Amerika merosot dari 19% total ekspor (tahun 2018) menjadi 16,2% (tahun 2022). Di sisi lain, Ekspor Amerika ke Tiongkok merosot dari 8,4% menjadi 7,4% (sumber: trademap.org).

Selama periode perang dagang kedua negara, Ekspor Indonesia ke Tiongkok mengalami pertumbuhan yang signifikan dari 15% (2018) menjadi 22,5% (2022), sementara ke Amerika mengalami penurunan dari 10,2% menjadi 9,6%.

Tiongkok menjadi negara tujuan utama ekspor Indonesia selama perang dagang Tiongkok vs Amerika. Peta konstelasi perdagangan dunia ini membuat defisit neraca perdagangan Indonesia dengan Tiongkok mengalami penurunan tajam dari deficit 18,4 miliar USD (2018) menjadi 1,8 miliar USD (2023).

Penurunan ekspor kedua negara (Tiongkok dan Amerika) ternyata berimbas pada kenaikan ekspor Indonesia di kedua negara. Ini semacam blessing in disguise bagi Indonesia alias mendapat windfall profit (rejeki nomplok).

Di satu sisi Indonesia terdampak dari trade war ini, di sisi lain Indonesia mampu mengambil ceruk yang ditinggalkan oleh kedua negara, walaupun dari sisi size (ukuran) , porsi ekspor Tiongkok (1,8%) dan Amerika (0,49%) ke Indonesia masih tergolong kecil.

Setelah melambat di tahun 2020 akibat COVID, perekonomian dunia kembali meningkat sejalan dengan penanganan kasus pandemi Covid-19 yang baik melalui pemberian vaksinasi dan stimulus perekonomian. Kinerja perdagangan Indonesia mencapai rekor terbesar sepanjang sejarah utamanya selama masa pandemic dan perang Rusia-Ukraina yaitu tahun 2021 dan 2022.

Ekspor Indonesia mencapai lebih dari 200 miliar USD. Ini adalah surplus neraca perdagangan terbesar sepanjang sejarah republik ini berdiri.

Sejak tahun 2020, Pemerintah Indonesia sudah melarang beberapa komoditas pertambangan mentah, khususnya besi/baja, nikel, tembaga dan sebagainya. Konsekuensinya kebijakan ini mendorong hilirisasi industri yang berdampak signifikan pada peningkatan ekspor komoditas pertambangan intermediate goods (barang antara).

Rossanto Dwi
Rossanto Dwi Handoyo
Guru Besar Ilmu Ekonomi Internasional FEB UNAIR

Kebijakan larangan impor bahan baku pertambangan ini kemudian digugat oleh Uni Eropa di WTO, dan walaupun kalah, Pemerintah Indonesia banding terhadap keputusan tersebut. Kebijakan larangan impor bahan baku sumber daya mineral diiringi dengan kebijakan hilirisasi industri sektor pertambangan ini menuntut konsistensi kebijakan dari pemerintah agar Investor yang masuk tidak hengkang lagi dari Indonesia.

Di sisi lain, ketergantungan impor Indonesia dari Tiongkok dan negara lain juga masih sangat tinggi mengingat impor digunakan sebagai bahan baku produksi (71,75 persen) disamping barang modal (16,9 persen) dan barang konsumsi (11,45 persen).

Impor ini sangat dibutuhkan oleh Industri agar tetap beroperasi baik untuk memenuhi kebutuhan domestic maupun yang hasil akhirnya di ekspor ke luar negeri. Ketergantungan impor ini juga karena strategi perusahaan/industri dalam menerapkan outbound investment di Indonesia.

Strategi berinvestasi di sektor hilir di luar negeri namun industry hulunya tetap dilakukan di negara asalnya. Ketika permintaan produk akhirnya meningkat, maka industry hulunya juga akan ikut terangkat produksinya sehingga tetap mempertahankan kesempatan kerja di negara asalnya.

Jika dilihat secara umum, 20 komoditas utama ekspor Indonesia menyumbang hampir 70-80% total ekspor Indonesia, diantaranya adalah lemak nabati, besi/baja, mesin/peralatan listrik, kendaraan, produk kimia, alas kaki, karet, perhiasan, nikel, tekstil/pakaian jadi, kertas/pulp, barang dari kayu, bahan kimia organic, ikan dan udang, plastik, tembaga, timah, produk makanan/minuman, kopi, tembakau, kakao dan sebagainya.

DPRD Blitar Dukung Pembangunan PLTB oleh Investor Tiongkok

Komoditas-komoditas Ekspor ini dikategorikan sangat dangkal yaitu masih mengandalkan pada komoditas berbasis sumber daya alam (natural resources based product) dan industri berteknologi rendah dan mengandalkan tenaga kerja murah (low technology and unskilled labor based product).

Komoditas dengan kategori barang seperti ini memiliki pesaing (competitor) yang sangat ketat dengan harga yang relatif murah. Misalnya harga kopi, ikan, udang, karet, kakao, dan sebagainya ditentukan oleh harga Internasional sehingga lebih berperan sebagai price taker (pengambil harga) ketimbang price maker (penentu harga).

Lain halnya apabila bisa menghasilkan produk akhir yang memiliki nilai tambah besar dan bisa menentukan harga misalnya pada produk otomotif, elektronik, industri alat berat, dan sebagainya.

Ekspor semakin tertekan seiring dengan perlakuan negara lain seperti negara-negara Eropa yang membatasi komoditas unggulan ekspor seperti CPO, industri berbasis kayu hasil hutan, industri makanan-minuman dengan alasan produk yang tidak bersahabat dengan lingkungan (not environmentally friendly), isu-isu standarisasi pangan, isu manajemen mutu (good manufacturing process/GMP) dan sebagainya.

Tambahan lagi, produsen domestik juga menghadapi permasalahan internal yang sering membebani daya saing produk, seperti inefisiensi teknologi, aturan yang sering tumpang tindih (overlapping) antar kementerian, masalah logistic dan dwelling time di pelabuhan, hubungan pemerintah pusat dan daerah yang tidak sejalan, hubungan industrial yang kurang harmonis baik oleh pengusaha dan kalangan buruh, perbedaan interpretasi aturan perpajakan oleh eksportir dan petugas pajak/bea cukai, termasuk aturan perijinan yang belum selaras di antara pemerintah daerah itu sendiri. Semua masalah ini pada akhirnya bermuara pada harga barang yang menjadi tidak kompetitif dan kalah bersaing dengan negara lain.

Rossanto Dwi Handoyo
Guru Besar Ilmu Ekonomi Internasional FEB UNAIR

Apa Reaksi Anda?

Komentar