Love and war are the same thing, and stratagems and policy are as allowable in the one as in the other.
Miguel de Cervantes Saavedra (1855). “The History of Don Quixote de la Mancha”
Kisah perang adalah seperti kisah cinta, menarik untuk dilihat dan diikuti. Perang dan cinta seperti dua anasir yang saling bertolak belakang, sekaligus saling melengkapi. Cinta tidak menghasilkan kedamaian, dan perang berangkat dari rasa tidak cinta, entah itu tamak, serakah, maupun kebencian. Berhadapan dengan kisah perang, kita dihadapkan dengan tumpukan memori bagaimana itikad manusia itu sebenarnya.
Kisah perang adalah juga seperti kisah cinta yang semu, terkadang keduanya menawarkan fatamorgana. Perang menawarkan fatamorgana kemenangan yang tidak pernah sampai, iming-iming sementara yang hanya untuk memuaskan satu pihak saja. Meskipun pada akhirnya, berakhir pada kegagalan saja.
Kompleksitas manusia berhadapan dengan situasi perang menjadi isu utama dalam film perang yang dirilis Netflix tahun 2022 lalu bertajuk ‘All Quiet on Western Front,’. Film ini dinukil dari sebuah novel tahun 1929 dari Jerman karangan Erich Maria Remarque dengan judul yang sama. Kisah Remarque adalah sebuah memori saat dirinya menjadi tentara Jerman pada Perang Dunia I. Dia mengisahkan suasana degup di medan perang yang dipenuhi kengerian sekaligus trauma yang dialami oleh tentara muda Jerman.
Pada tahun 1930 dan 1979 ‘All Quiet on the Western Front’ pernah diangkat menjadi film oleh Hollywood. Sementara versi terbaru ini, disutradarai oleh Edward Berger, seorang sutradara berdarah Jerman. Castnya diisi deretan oleh aktor-aktor Jerman. Sungguh menarik ketika kekejaman Jerman, dikisahkan versi orang Jerman sendiri, bukan Amerika. Dengannya, film ini tidak membuat kita mudah menuduhnya sebagai film propaganda dan pembelaan semata.
Salah satu scene ikonik bagi saya ketika adegan sekelompok pemuda berjalan dalam gamang menuju perangkap musuh. Mereka tidak tahu kengerian seperti apa yang bakal dihadapi. Scene itu memperlihatkan kegetiran pemuda yang harus membunuh demi bertahan hidup. Mereka berperang bukan demi upaya patriotik membela negara, tetapi semata-mata usaha bertahan hidup.
Adegan lainnya ketika tokoh bernama Paul Baumer (diperankan Felix Kammerer) yang masih berusia 17 tahun termakan propaganda Imperial German Army. Ia pun diajak terlibat perang dengan janji indah dan gegap gempita kemenangan perang di Paris, Prancis. Namun, bukan kemenangan yang didapat, Baumer bersama teman-teman yang masih seusianya justru mengalami kebrutalan perang. Kondisi penuh dengan kengerian yang membuat mentalnya ciut.

Tentara belia yang dipaksa berperang itu tak punya harapan untuk membuat Jerman berjaya. Mereka hanya dan hanya ingin kembali pulang ke pelukan keluarga, kembali ke sekolah seperti sedia kala. Ia pun tak ingin berperang, dan tertegun masuk ke kubangan lumpur berpura-pura menjadi korban perang.
Lewat tokoh Berger, film ini seolah berusaha menyampaikan kesia-siaan perang. Dalam posisinya sebagai sebuah film anti perang, All Quiet on the Western Front seakan menjadi pesan akan kefanaan manusia sebagaimana ucapan Glaucus kepada Diomedes dalam epos Illiad, “Like the generation of leaves, so the lives of mortal men”.
Tak hanya menarik secara isu, film ini juga serius dari segi visual. Hal itu sudah terlihat sejak prolog yang dibuka dengan adegan perang brutal. Scene itu dilengkapi dengan iringan musik drum berritme riuh nan gemuruh. Transisi dari prolog menuju babak utama pun begitu halus sekaligus mencekam. Suasana itu seakan mengajak kita merasakan suasana mencekam sejak awal.
Ada banyak adegan kekerasan ketika pertempuran dimulai. Dengan sound effect dan mixing yang maksimal. Membuat suara ledakan, baku tembak, hingga suara tusukan senjata tajam terasa sangat immersive. Ada adegan dimana tentara sekarat, suara darah yang mengalir dan kesesakan dieksekusi dengan sangat sempurna. Membuat kita juga ikut merasa tidak nyaman seperti para tentara yang melihat tentara-tentara lainnya yang sekarat.
Tidak melulu adegan pertempuran yang intens, ada juga adegan selingan di kala istirahat hingga membersihkan jenazah setelah satu babak pertempuran usai. Karena adegan perang yang mengeksploitasi kekerasan dan kesadisan, kita pun dapat merasakan ketegangan yang dirasakan oleh para tentara ketika kembali ke babak tempur berikutnya. Dengan begini, poin untuk menyampaikan trauma perang dalam film bisa dianggap berhasil.
Tak Ada Patriotisme bagi Bremer!
Film perang selalu memiliki visi atau setidaknya isu tertentu yang ingin disuarakan. Kebanyakan film perang mengisahkan heroisme, lihat misalnya Fury (2014), The Forgotten Battle (2021), dan Dunkirk (2017). Ketiganya diceritakan dengan gaya penuh sanjungan karena tokoh-tokohnya menenangkan perang, atau berhasil mencegah invasi musuh. Perspektif pengisahan mengusung semangat propaganda dengan mempertontonkan sikap heroik tentara.
Namun, ‘All Quiet on the Western Front’ merupakan film anti-perang. Tidak ada heroisme atau patriotisme dalam film buatan orang Jerman ini. Kita justru dibuat iba kepada para tokohnya alih-alih melihat mereka sebagai pahlawan. Mereka yang sejatinya tak ingin berperang dipaksa untuk berperang, atau mereka yang awalnya semangat untuk ikut terlibat perang tetapi saat di medan perang belum siap secara mental.
Menonton film ini membawa reaksi yang berbeda-beda, apalagi jika menontonnya lebih dari satu kali. Kita diajak merasakan horornya perang dengan sangat dekat dan seolah-olah terasa sangat nyata. ‘All Quiet on the Western Front’ tak hanya menyajikan pesan anti-perang, film ini sekaligus menyajikan arti perang yang sesungguhnya. Arti perang yang sejatinya bertolak belakang dengan nilai kemanusiaan. Garapan Edward Berger ini jelas bertujuan untuk mengingatkan kembali bahwa perang sama sekali tak berarti. Perang hanyalah eksploitasi kemanusiaan yang brutal.
Tak ada hal positif yang bisa didapatkan dari perang. Begitu pula kisah ini memiliki perkembangan plot tragedi yang suram dan membuat kita bergeming seiring cerita mengalir. Bahkan ketika perang sudah berakhir, harga yang besar harus dibayar, namun demi apa? Yang ada hanya ingatan kelam, berkabung dan kehilangan.
‘All Quiet on the Western Front’ tampaknya telah menjadi film adaptasi yang immersive sekaligus otentik. Kedamaian yang dirasakan dunia saat ini bertolak dari kegetiran perang. Film ini mengais kembali ingatan manusia tentang kekejaman perang, tak hanya pada masyarakat sipil, tapi juga pada prajurit itu sendiri. Dengan demikian, Edward Berger menegaskan pada kita bahwa perang tidak berarti apa-apa.
Komentar