Catatan Menjelang Lengser

Jalan Nglenyer dan Nasib Tragis Kepala Desa Bojonegoro

Bojonegoro – Menjadi penguasa dengan anggaran daerah (kabupaten) terbesar nomor dua se Indonesia, dengan Angka Rp7,4 triliun tentu bukan hal sulit bagi Anna Muawanah untuk mencitrakan diri sebagai Ibu pembangunan.

Tidak kurang dari 722 kilometer jalanan di Bojonegoro dimake over dari semula jalan paving menjadi jalan cor yang mulus. Sorak Sorai dan euforia dalam rangka memviralkan program dalan nglenyer pun terus digaungkan melalui lagu, lomba video klip, senam dan berbagai perayaan lainnya.

Bahkan saking semangatnya mempopulerkan diksi Nglenyer, hingga terkesan meremehkan bahkan menganggap tidak ada pembangunan pada pemerintahan sebelumnya.

Sayangnya program pembangunan ini, tidak berdampak secara signifikan pada peningkatan ekonomi masyarakat Bojonegoro. Pasalnya semua tak lebih hanya berorientasi pada pencitraan. Ironis memang, meski APBD Bojonegoro tinggi, namun tingkat kemiskinan juga tinggi, urutan ke 11 se Jawa Timur.

Anggaran pembangun yang disalurkan melalui program Bantuan Keuangan Khusus Desa (BKKD) ini justru malah melahirkan petaka bagi sebagian kepala desa. Pasalnya realisasinya tanpa dibarengi pendampingan yang intensif sehingga rawan terjadi penyelewengan dan salah kelola.

Sebenarnya sudah ada upaya untuk mengingatkan para kepala desa agar berhati-hati dalam mengelola anggaran BKKD. Warning itu disampaikan oleh wakil Bupati Bojonegoro, Budi Irawanto. Namun apa yang terjadi, sikap Budi Irawanto ini justru dianggap sebagai upaya menghalang-halangi program ambisius dari Anna Muawanah… Lho??

Yakin bakal terjadi ketidakberesan dalam pelaksanaan pembangunan jalan cor yang anggarannya bersumber dari BKKD, mas Wawan (panggilan akrab Wakil Bupati) menyusun program secara pribadi yang disesuaikan dengan kapasitasnya sebagai wakil bupati yaitu melakukan inspeksi mendadak (sidak).

Wakil Bupati yang tidak lagi mendapatkan porsi secara administratif untuk menjalankan kebijakan sesuai tupoksinya sebagai wakil bupati ini, tetap rela membebani dirinya dengan mendatangi desa desa penerima BKKD untuk memastikan bahwa pelaksanaan pembangunan sesuai dengan yang diharapkan.

Benar saja, apa yang ditemukan mas Wawan di lapangan jauh dari harapan. Bukannya kualitas pembangunan yang bagus sesuai dengan besarnya anggaran yang diterima desa, justru banyak manipulasi dalam proyek pembangunan. Mulai dari bahan yang tidak sesuai spesifikasi hingga tata kelola administrasi yang amburadul. Bahkan tidak sedikit kepala desa yang tidak memahami mekanisme pelaksanaan proyek yang menggunakan uang negara.

Sekali lagi, karena ambisi dan nafsu berkuasa yang tidak terkendali, tindakan wakil bupati ini mendapat tentangan dari para pendukung bupati Anna Muawanah. Bahkan ada yang menulis di status media sosial bahwa Wabup tidak paham soal pembangunan dan hanya bikin gaduh, tidak tanggung tanggung status itu ditutup dengan umpatan “cegh nan” kependekan dari picek tenan, yang artinya buta / tidak bisa melihat.

Mendapat tentangan seperti itu tidak membuat Budi Irawanto kendor, justru putra asli Bojonegoro itu semakin memadatkan jadwal sidaknya. Dalam sehari tidak kurang dari tiga hingga empat desa ia kunjungi. Tidak peduli cuaca hujan sekalipun ia tetap turun jalan dan memberi tanda pada jalan cor yang sudah mulai retak dan pecah meskipun usianya belum genap tiga bulan. Dan semua hasil sidak itu didokumentasikan dengan rapi oleh mas Wawan dibantu teman jurnalis yang punya idealisme yang sama dengannya.

Baca Juga: Catatan Menjelang Lengser Bupati Bojonegoro: Hanya Pegawai Kontrak

Gusti tidak sare. Diksi ini semakin menunjukkan kebenarannya. Pembangunan jalan nglenyer yang tidak didasarkan pada niat yang tulus dan hanya bertujuan untuk kepentingan sesaat terbukti telah memakan korban. Kepala desa sebagai pionir di lapangan dipaksa menelan pil pahit bahkan ada yang bernasib tragis dengan ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi.

Sebut saja Kades Punggur yang saat ini sudah ditetapkan tersangka, kades Dengok yang berurai air mata saat menjadi saksi di pengadilan Tipikor Surabaya. Juga mantan camat dan delapan kades lainnya di kecamatan Padangan yang tengah gelisah menunggu nasibnya, apakah tetap berstatus saksi atau berubah menjadi tersangka. Demikian juga dengan kades kades lainnya yang saat ini sedang diperiksa oleh Kejaksaan.

Apakah kisah tragis para kades itu merupakan tumbal pembangunan? Bukankah pembangunan adalah sebuah keniscayaan yang harus dilakukan oleh kepala daerah sebagai pelaksana amanat dari rakyat. Itulah sebabnya kita membutuhkan pemimpin bukan penguasa. Pembangunan yang dilakukan oleh pemimpin tentu akan membawa maslahat bagi rakyat. Sedang pembangunan yang dilakukan penguasa lebih berorientasi kepada kepentingan dirinya dan kelompoknya

Oleh karena itu, pembangunan itu harus sesuai Nafsu yang wajar, Nalar yang benar, Naluri yang sehat dan Nurani yang tulus. Pendeknya jalan Nglenyer, jangan sampai membuat keblinger.

Apakah hal seperti ini akan dilanjukan untuk periode selanjutnya. Semua terserah Rakyat Bojonegoro. Semoga wong jonegoro tidak sedang menggali lobang yang akan membuat daerah kaya ini semakin terperosok ke dalam kubangan kemiskinan.
Wallahu alam bi shawwab

 

Agus Sighro
Penulis adalah tenaga pendidik dan seniman serta budayawan


Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks



Apa Reaksi Anda?

Komentar