Surabaya (beritajatim.com) – Tepat 7 Februari 2023 atau 16 Rajab 1444 Hijriyah, ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU) tepat berusia 100 tahun (1 abad). Pada kalender Masehi, ormas NU yang didirikan di Kota Surabaya lahir bertepatan tanggal 31 Januari 1926.
Ormas komunitas Islam Tradisional di Indonesia ini telah menapaki banyak babak sejarah penting Indonesia. Era pergerakan nasional untuk merebut kemerdekaan, era penjajahan Jepang, era kemerdekaan dan usaha mempertahankannya, era Demokrasi Parlementer, era Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno, erra Orde Baru Presiden Soeharto, dan era Reformasi 1998 sampai sekarang.
Di semua era tersebut, dengan dinamika politik, sosial, dan ekonomi yang menyertainya, NU mampu mempertahankan eksistensi dan positioning-nya dalam lanskap sosial keagamaan dan politik Indonesia.
NU pernah terjun langsung sebagai partai setelah keluar dari Partai Masyumi pada 1952. Di kontestasi politik pertama setelah Indonesia merdeka: Pemilu 1955, Partai NU finish di urutan ketiga dengan raihan suara sekitar 18,41 persen, di bawah PNI (kaum Nasionalis) dan Partai Masyumi (kaum Islam Modernis). Posisi PKI (kaum Komunis) berada di posisi keempat.
Dari keempat partai tersebut, NU yang masih bertahan hingga hari ini, kendati mengubah posisi organisasinya sebagai ormas Islam, bukan lagi partai dan atau bagian partai tertentu. NU kembali ke Khittah 1926 sesuai dengan hasil keputusan muktamar NU ke-27 di Pondok Salafiyah Syafi’iyah Asembagus, Kabupaten Situbondo, Jatim pada 1984.
Keputusan muktamar NU di Asembagus Situbondo 1984 mengubah total positioning NU, yang semula partai dan atau menjadi bagian fusi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), menjadi ormas Islam. NU kembali ke jati dirinya selaras dengan potret kelahirannya di tahun 1926 sebagai ormas kaum Islam Tradisional di Indonesia. Banyak tokoh NU berkontribusi besar dalam agenda setting mengembalikan NU sebagai ormas, di antaranya KH Achmad Siddiq (Jember), KH Abdurrahman Wahid (Jakarta), KH As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), KH Ali Maksum (Yogyakarta), dan banyak tokoh NU lainnya.
Di usia 1 abad NU ada begitu banyak catatan penting tentang ormas Islam ini, berikut elite-elite yang ada di dalamnya. Satu di antaranya tentang mobilitas politik vertikal para elite NU, khususnya dari kalangan muda.
Demokratisasi politik setelah Reformasi 1998 memberikan ruang lebar bagi siapa pun yang terjun di ranah politik praktis. Wilayah politik tak lagi menjadi kavling privilege militer, kaum birokrasi sipil, dan kekuatan politik tertentu (Golkar) seperti sepanjang 32 tahun rezim Orde Baru.
Komunitas Islam Tradisional (NU) dan kelompok sosial lain yang memiliki platform ideologi Nasionalis, Sosialis, Islam Modernis, dan lainnya punya akses politik yang equal untuk bertarung dalam kontestasi politik nasional, seperti pemilihan umum legislatif (Pileg) dan pemilihan umum presiden-wakil presiden (Pilpres).
Selain itu, pembentukan partai baru di luar PPP, Golkar dan PDI, dibuka seluas-luasnya pasca Reformasi 1998. Banyak kiai, tokoh, dan elite NU yang punya kesempatan terjun di ranah politik praktis di banyak partai, seperti PPP, Golkar, PDIP, PKB, Partai Gerindra, Partai NasDem, dan partai lainnya.
Aktivisme di partai membuka peluang terjadinya mobilitas politik bersifat vertikal bagi siapa pun, termasuk kiai, elite, dan tokoh NU. Hal serupa juga terjadi di kalangan aktivis ormas, khususnya ormas Islam yang punya jam terbang lama, massa di akar rumput yang kuat, jejaring luas secara nasional, dan secara historis terbukti mampu bertahan di tengah banyak hantaman dan tantangan histori zaman.
Dalam konteks ini, NU dan Muhammadiyah, misalnya, dua ormas Islam yang mampu melewati banyak era politik dengan baik. Keduanya lulus dari ujian sejarah yang bagi ormas atau partai tertentu belum tentu mampu melewatinya dengan baik.
Sejak era Reformasi 1998 hingga sekarang, banyak kiai, tokoh, dan elite NU mengalami mobilitas politik vertikal luar biasa, baik via partai maupun ormas. Dalam konteks kekinian, di lapangan politik praktis, keormasan, dan pemerintah, sejumlah tokoh NU menduduki jabatan strategis. Wakil Presiden ditempati KH Ma’ruf Amin (mantan Rais Aam PBNU dan pernah aktif di PKB). Tokoh asal Provinsi Banten ini memenangkan Pilpres 2019 berpasangan dengan Jokowi. Duet ini mengandaskan ambisi Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Dua kakak beradik asal Denanyar, Kabupaten Jombang, Jatim: Abdul Halim Iskandar dan Abdul Muhaimin Iskandar adalah pengendali utama PKB. Muhaimin menjabat Ketua Umum PKB dan Halim Iskandar sebagai Ketua PKB Jatim, wilayah politik paling penting dan strategis bagi PKB sebagai lumbung suara saat pemilihan umum. Selain itu, Muhaimin sekarang menjabat Wakil Ketua DPR RI dan Halim Iskandar sebagai Menteri Desa, Transmigrasi, dan Pembangunan Daerah Tertinggal.
Dari Kabupaten Rembang, ada pula kakak beradik yang sekarang mengemban posisi penting di pemerintahan dan ormas NU. Yaqut Cholil Qoumas, anak KH Cholil Bisri, menjabat Menteri Agama sekaligus Ketua Umum PP GP Ansor, salah satu badan otonom NU. Kakaknya Yaqut, yakni Yahya Cholil Staquf terpilih sebagai Ketua Umum PBNU di muktamar Lampung pada akhir Desember 2021 lalu.
Di level pemerintahan di Jatim, jumlah kader NU yang duduk di pemerintahan dan menempati posisi kunci tak terhitung jumlahnya. Khofifah Indar Parawansa terpilih sebagai Gubernur Jatim periode 2019-2024. Saifullah Yusuf (Gus Ipul), kini Sekjen PBNU dan mantan Wagub Jatim selama 10 tahun, duduk sebagai Wali Kota Pasuruan.
Jumlah kepala daerah dan wakil kepala daerah berlatar belakang NU di Jatim jumlahnya cukup banyak, seperti Bupati Sidoarjo, Bupati Gresik, Bupati Bojonegoro, Bupati Lumajang, Bupati Pasuruan, Bupati Pamekasan, Bupati Jombang, dan sejumlah kepala daerah lainnya.
Mobilitas politik bersifat vertikal yang lebih terbuka dan equal bagi siapa pun itu salah satu ‘berkah’ Reformasi 1998. Komunitas Islam Tradisional langsung merasakan dampaknya, selain komunitas sosial lain di Indonesia. Terlebih sistem politik nasional mewadahi model pemilihan umum secara langsung adalah mekanisme politik untuk menentukan dan memiliki kepemimpinan politik di semua level: nasional, regional, maupun lokal.
Dalam perspektif demikian, kiai, elite, dan tokoh NU diuntungkan, mengingat jumlah massanya besar, jejaring organisasinya luas, dan mesin organisasinya terbukti efektif untuk menjaring suara konstituen.
Ainur Rohim, Direktur Utama dan Penanggung Jawab beritajatim.com
Komentar