Jember (beritajatim.com) – Anarkisme relatif tidak pernah dikenal dalam sejarah pergulatan ideologi di Indonesia. Kendati memperjuangkan kemerdekaan, para Bapak Bangsa kita relatif tidak memiliki preferensi terhadap para pemikir liberal atau libertarian yang menjadi dasar anarkisme. Proudhon dan Bakunin tidak banyak dikenal dibandingkan Marx dan Engels.
Ini bisa dipahami, karena Soekarno, Hatta, Sjahrir, Natsir, maupun Tan Malaka percaya terhadap keberadaan negara. Perjuangan mereka adalah perjuangan menuju Indonesia merdeka dan berdaulat. Sementara ideologi anarkisme memandang sebaliknya. Alexander Berkman dalam buku ABC of Anarchism menyebut, anarki berasal dari kosakata Yunani.
“Anarki bukan berarti kekacauan dan ketidakteraturan. Ini justru kebalikan itu semua. Ia berarti tanpa pemerintah, yang berarti kemerdekaan dan kebebasan,” tulisnya.
Dalam masa demokrasi liberal, Orde Baru, dan Reformasi, agenda anarkisme tak pernah terdengar menjadi salah satu opsi maupun masuk dalam perdebatan publik. Bahkan saat Indonesia berada di bawah ancaman balkanisasi setelah Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden. Perdebatan yang kembali muncul adalah penerapan otonomi daerah atau negara federal. Tak ada ide untuk membubarkan negara.
Namun bukan berarti diskusi-diskusi di kalangan mahasiswa mengenai ideologi ini tak ada. Apalagi internet mempermudah akses informasi dari luar. Buku cetak yang diluncurkan penerbit Indonesia bukan lagi satu-satunya sumber referensi otoritatif.
Jim Donaghey dalam buku Punk and Anarchism: UK, Poland, Indonesia menyebut, sejarah kemunculan anarkisme di Indonesia tak lepas dari skena musik punk. Punk memang akrab dengan ideologi ini. Salah satu lagu legendaris band Punk Inggris, Sex Pistols, berjudul Anarchy in The UK. Liriknya eksplisit menyerang institusi negara dan agama.
Right now ha, ha, ha, ha, ha
I am an anti-Christ
I am an anarchist
Don’t know what I want
But I know how to get it
I want to destroy the passerby
‘Cause I want to be anarchy
No dogs body
Awalnya, punk hanya gaya hidup. Tak ada ideologisasi. Anarkisme diimpor dari jaringan internasional antarsesama musisi dan penggemar punk. Tahun 1996, sebuah fanzine, atau majalah yang diproduksi sendiri oleh penggemar punk di Bandung, bernama Submissive Riot mulai terbit. Majalah ini sama sekali tidak ada urusan dengan band punk sama sekali. Namun sepanjang 1990-an, band-band punk di Indonesia mulai banyak memainkan lagu-lagu berlirik anarko.
Submissive Riot mendeklarasikan Front Anti Fasis yang dalam waktu singkat menyebar ke sejumlah kota di Indonesia. Mereka bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik, dan belajar soal sosialisme, anarkisme, dan komunisme. Dari sini, FAF ikut terlibat dalam pengorganisasian aksi demonstrasi dan pemogokan buruh. Namun FAF akhirnya pecah kongsi dengan PRD, karena partai tersebut menolak gagasan anarkisme. [wir/but]
Komentar