Kediri (beritajatim.com) – Sekelompok petani di Desa Bangkok, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri mulai meninggalkan pertanian kimiawi, dan menekuni sistem organik. Selain menghasilkan produk pertanian yang lebih berkualitas, sistem pertanian organik juga dinilai lebih murah.
Makin, salah satu petani organik mengatakan bahwa dirinya mulai beralih dari sistem pertanian kimia ke organik sejak 2016. Bermula dari mengikuti Sekolah Lapang Pertanian (SLP) yang diselenggarakan oleh Dinas Pertanian dan Perkebunan (Dipertabun) Kabupaten Kediri, akhirnya ia kepincut alias terpikat.
“Awalnya diajak oleh Penyuluh Pertanian untuk belajar. Awal-awal, memang belum memuaskan hasilnya. Kemudian tahap dua mulai meningkat. Sampai sekarang hasilnya hampir menyamai dengan pertanian sistem kimia,” aku Makin.
Salah satu alasan yang mendasari Makin untuk beralih menggunakan sistem organik karena biayanya murah. Untuk lahan sawah seluas 100 rhu, biasanya ia harus merogok kocek sebesar Rp 1,5 juta untuk pembelian pupuk kimia. Tetapi dengan sistem organik cukup ratusan ribu rupiah.
“Pakai organik biayanya sangat minim. Tetapi kualitas produknya lebih bagus. Saya pernah melakukan tes sendiri. Nasi organik lebih awet. Dalam waktu dua hari, pakai kimia nasinya basi. Kalau organik, hanya kering,” urai Makin.
Makin memiliki sawah seluas 250 rhu (sekitar sepertiga hektar). Selain ditanami padi, dia juga menanam jagung dengan sistem organik. Langkahnya ini pun mulai diikuti oleh petani lain yang tergabung dalam Kelompok Tani Sidodadi desa setempat.
Para petani menggunakan sistem pertanian organik secara keseluruhan. Mulai dari pembuatan bibit, pemakaian pupuk hingga pengendalian hama penyakit. Mereka memakai pupuk cair organik yang dibuat secara mandiri dan MOL (mikro organisme lokal) untuk membantu menyuburkan.
Disisi lain, pemasaran produk pertanian organik cukup sulit. Masyarakat pada umumnya masih menganggap sama dengan padi biasa atau sistem kimiawi. Sehingga, perlu adanya pemahaman kepada masyarakat mengenai kualitas produk tersebut.
“Kalau saya, kebetulan ada yang memesan dari sebuah pondok pesantren di wilayah Nganjuk. Setelah panen, kemudian saya kemas dengan berat 30 kilograman. Untuk harga jualnya sebesar Rp 14 ribu per Kg-nya. Memang sedikit mahal, tetapi kualitas nya saya bisa menjamin,” ungkap Makin.
Gairah pertanian organik yang digalakkan oleh para petani di Desa Bangkok ini membanggakan pihak Pemerintah Kabupaten Kediri, utamanya dari Dispertabun. Hal tersebut membuktikan bahwa program SLP yang diselenggarakan tahunan cukup berhasil. Petani mampu mengaplikasikan ilmu yang didapat dari lembaga pendidikan non formal tersebut untuk kesejahteraanya.
Terpisah, H. Kayat Subroto, selaku Koordinasi PPL Kecamatan Gurah menyebut, untuk wilayah Gurah sistem pertanian organik mulai dikembangkan petani di Desa Besuk, Banyu Anyar, Tiru Lor, Tiru Kidul dan Bangkok. Para petani yang beralih sistem pertanian organik rata-rata muncul setelah mengikuti SLP.
“Pertanian organik di wilayah Gurah, khususnya Desa Bangkok mulai bergairah. Sementara ada beberapa kelompok Desa Bangkok yang menekuni. Ke depan agar pemerintah bisa menghargai produk organik dan biasa,” kata H. Kayat.
Akan tetapi, pihaknya merasa prihatin karena belum ada penghargaan untuk produk pertanian organik. Dimana, harga jual padi yang dihasilkan masih disamakan dengan padi sistem kimiawi. Padahal, menurut Kayat, dari segi kualia produk, lebih diunggulkan. Produk pertanian organik terbebas dari residu pestisida.
“Untuk ukuran sekarang, pertanian organik biaya murah dan kepastian panen terjamin. Sebab, akhir-akhir ini petani sulit memastikan panen, karena serangan hama penyakit. Dengan menggunakan organik, hama penyakit dapat dikendalikan. Namun, untuk harga jualnya, semoga bisa dipikirkan oleh pemerintah,” tutupnya. [nm/suf]
Komentar