Pendidikan & Kesehatan

Perjuangan Guru Honorer di Daerah Terpencil, Lewati 3 Sungai dan Jalan Berlumpur

Guru Andik Santoso saat melalui medan yang berat untuk menuju ke tempatnya mengajar, yakni SDN Jipurapah 2

Lamongan (beritajatim.com) – Meski sudah mengabdi hampir selama 17 tahun dalam dunia pendidikan, seorang guru yang bertugas di daerah terpencil dan dengan medan yang berat untuk dilalui ini tak kunjung diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS).

Guru tersebut adalah Andik Santoso, perjuangan pria yang kini tinggal di Dusun Paluombo, Desa Kedungkumpul, Kecamatan Sukorame, Kabupaten Lamongan ini bukanlah perkara yang mudah. Setiap harinya, ia harus menuju ke tempatnya mengajar yang berada di pedalaman, yakni SDN Jipurapah 2 yang berada di Dusun Kedungdendeng, Desa Jipurapah, Kecamatan Plandaan, Kabupaten Jombang.

Demi memberikan pendidikan pada anak-anak desa di kawasan pedalaman tersebut. Guru kelahiran 1987 ini setiap harinya harus dihadapkan pada tantangan yang penuh risiko. Selain harus melewati rimbunnya hutan dan 3 aliran sungai sekaligus, sang guru juga harus melewati jalur yang licin, terjal, dan berlumpur saat musim penghujan. Jaraknya 11 kilometer.

Menurut Andik, sebenarnya ada 2 rute perjalanan menuju SDN Jipurapah 2 yang bisa dilalui. Namun, kedua rute yang tersedia itu sama-sama beratnya. Rute pertama, dari rumah langsung menuju ke arah Dusun Kedungdendeng. Jalurnya melintasi hutan, menjelajahi jalan terjal, licin dan berlumpur saat musim hujan. Untuk melintasinya, Andik memerlukan waktu sekitar 90 menit, dengan jarak tempuh yang lebih pendek.

Sedangkan rute kedua, terdapat akses jalan yang kondisi medannya lebih ringan, yakni jika dari Desa Jipurapah menuju ke arah Dusun Kedungdendeng dengan jarak antar keduanya sekitar 10 kilometer dan dilanjutkan melintasi hutan. Namun, memilih rute kedua tidak bisa serta merta dilakukan, karena untuk sampai ke Jipurapah saja harus menempuh jarak yang lebih panjang.

Habiskan 10 Sepeda Motor

Andik Santoso melewati jalur berlumpur saat berangkat ke sekolah tempatnya mengajar

Selain jarak yang semakin panjang, Andik juga harus melewati hutan lagi, meskipun kondisi medannya lebih ringan daripada jalur sebelumnya. “Kalau lewat jalur yang satunya itu jauh, meski medannya ringan, tapi malah semakin berat. Soalnya jaraknya 3 kali lipat, dan harus memutar lewat Kabuh, Ploso, lalu Plandaan. Terus, jalur masuknya juga tetap harus lewat hutan,” ujar Andik, Jumat (8/10/2021).

Oleh karena itu, Andik mengungkapkan, tidak semua kendaraan bisa melewati jalan itu. Hanya kendaraan jenis tertentu saja. Untuk menyiasati hal ini, Andik menggunakan sepeda motor yang sengaja dimodifikasi seperti layaknya trail. Tak tanggung-tanggung, terhitung hingga kini ia sudah berganti sepeda motor sebanyak 10 kali.

“Hingga kini, saya sudah menghabiskan lebih dari 10 unit sepeda motor, lantaran kerap mengalami kerusakan di bagian mesin, ya karena keseringan terendam air yang bercampur dengan lumpur di tengah hutan. Semua sepeda motor itu saya beli sendiri,” tutur guru SD yang menikah beberapa waktu lalu.

Bahkan, Andik juga menyebutkan, dirinya beberapa kali menghadapi resiko yang berat. “Pernah hanyut di sungai saat airnya pasang, pernah ditabrak babi, pernah motor rusak di tengah hutan hingga harus saya tinggal selama 3 hari, pernah pulang hingga larut malam, dan pernah jalan kaki hingga 22 kilometer selama 4 bulan,” sebutnya.

Kendati beratnya medan yang harus dilalui dan besarnya resiko yang harus dihadapi tersebut, Andik tidak menyerah. Hal itu ia lakukan karena merasa kasihan dan tidak tega saat melihat anak-anak SD di pedalaman Jombang yang sangat berantusias untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar.

“Setiap harinya, saya berangkat dari rumah pada pukul 06.00 WIB, biasanya tiba di sekolah pada pukul 07.00 WIB. Namun jika cuaca buruk dan kondisi jalan sedang rusak, maka dibutuhkan waktu sekitar 1,5 jam. Pulangnya juga tidak pasti. Yang sering sih sampai rumah pukul 16.00 WIB jika musim kemarau, tapi jika musim hujan sering pulang malam,” bebernya lagi.

Mengenai awal mula memutuskan untuk mengajar di SDN Jipurapah 2, Andik menceritakan, waktu itu pihak SD sedang kekurangan tenaga pengajar. Karena prihatin dengan kondisi sekolah, ia pun segera mengabdikan dirinya di sekolah itu hingga sekarang.

“Saat pertama kali masuk ya kasihan karena tidak ada yang mau mengajar, mungkin juga karena medannya berat. Mengenai keluarga saya, saya termasuk orang yang enggak mampu. Sebenarnya saya disuruh pindah dan cari kerjaan lain saja. Tapi saya enggak tega dengan anak-anak di pedalaman itu,” cerita Andik kepada beritajatim.com.

Berharap Diangkat PNS Tanpa Tes

Andik santoso bersama murid-muridnya

Meski sudah hampir 17 tahun mengabdi di dunia pendidikan, namun Andik masih saja berstatus sebagai guru sukuan yang nasibnya belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Andik tak kunjung diangkat sebagai guru negeri atau PNS. Oleh sebab itu, ia berharap, nantinya bisa diangkat menjadi PNS tanpa tes.

“Saya itu mengajar hampir 17 tahun, harapannya ya diangkat jadi PNS tanpa tes. Soalnya saya lampaui 17 tahun dengan medan yang berat. Saya kira kategorinya sudah lebih dari tes. Kenapa harus dites lagi, gitu loh. Sedangkan saya berangkat itu harus menempuh 3 sungai, melewati medan banjir yang enggak ada jembatannya,” papar alumnus PTN Universitas Terbuka itu.

Berdasarkan informasi yang diserap dari Andik Santoso, diketahui bahwa saat ia pertama kali masuk di SDN Jipurapah 2, hanya terdapat 27 siswa dari kelas I hingga kelas IV, yakni pada tahun 2006. Sedangkan guru yang bertugas di SDN itu hanya 3 orang, termasuk kepala sekolah.

Lalu pada bulan pertama mengajar di SDN, gaji yang diterima Andik sebesar Rp 50 ribu. Sekarang, jumlah siswa di SDN itu berjumlah 37 anak. Sementara gaji Andik sehari Rp 15 ribu. Menurut Andik, hal itu jelas tidak cukup, karena untuk keperluan transport per harinya saja, Andik harus rela mengeluarkan uang Rp 40 ribu.

Sehingga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk biaya transportasi pulang pergi menuju SDN Jipurapah 2, Andik kerap mencari kayu bakar sepulangnya dari mengajar. Lalu kayu tersebut ia jual dan hasilnya dibuat untuk membeli kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) bagi sepeda motornya. [riq/suf]

Apa Reaksi Anda?

Komentar