Pendidikan & Kesehatan

Pakar Hukum UINSA Minta DPD RI Kaji Ulang 5 Gagasan

UINSA
FGD bertajuk 'Menyempurnakan dan Memperkuat Sistem Bernegara Sesuai Rumusan Pendiri Bangsa' di UINSA Surabaya.

Surabaya (beritajatim.com) – Pakar Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya Lutfil Ansori meminta agar DPD RI mengkaji ulang lima gagasannya yabg tertuang dalam proposal kenegaraan.

Salah satu poin yang menjadi sorotan dari proposal kenegaraan oleh DPD RI itu terkait gagasan untuk kembali pada UUD 1945 sebelum amandemen, atau mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

Lutfil tak sepakat dengan gagasan itu. Menurutnya, banyak kelemahan dalam UUD 1945 sebelum amandemen, yang pada prinsipnya berpotensi terjadinya pelanggaran hak konstitusional warga negara.

Misalnya, seperti pengaturan HAM yang tidak seimbang, kekuasaan MPR yang tidak terbatas, masa jabatan presiden yang tidak terbatas, sampai dengan tidak adanya mekanisme judicial review atas kebijakan pemerintah.

Dosen Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UINSA itu menjelaskan bahwa mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan sistem ketatanegaraan Indonesia.

BACA JUGA:
Didesain Epidemiologi Pesantren, UINSA Tunggu Izin Pembukaan Fakultas Kedokteran

Ia menyebut jika gagasan itu bukan solusi tepat untuk mempertahankan keberlanjutan pembangunan dan penyerapan aspirasi publik dalam pembangunan dan pembentukan kebijakan.

“Jika dipaksakan, bisa menjadikan kemunduran demokrasi, dan melemahkan sistem presidensial,” ujar Lutfil Ansori saat FGD bersama DPD RI di FSH UINSA Surabaya, ditulis Sabtu (9/9/2023).

Adapun gagasan dalam proposal kenegaraan itu antara lain, pertama, mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, sebagai sebuah sistem demokrasi yang sufficient, dengan sistem tersendiri yang merupakan kedaulatan suatu bangsa.

BACA JUGA:
UINSA Targetkan Satu Prodi Punya Satu Guru Besar

Kedua, membuka peluang anggota DPR berasal dari peserta pemilu unsur perseorangan atau nonpartisan. Ketiga, memastikan utusan daerah dan utusan golongan diisi melalui mekanisme bottom up, bukan appointed by president seperti terjadi di era orde baru.

Keempat, memberikan ruang review dan pemberian pendapat kepada utusan daerah dan utusan golongan terhadap materi rancangan undang-undang yang dibentuk oleh DPR dan presiden.

Terakhir, menempatkan secara tepat tugas, peran, dan fungsi lembaga negara yang sudah dibentuk atau sudah ada di era Reformasi, dengan tolok ukur penguatan sistem demokrasi Pancasila. [ipl/beq]


Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks



Apa Reaksi Anda?

Komentar