Jember (beritajatim.com) – Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kabupaten Jember, Jawa Timur, menghadapi sejumlah kendala dalam menangani kasus tengkes alias stunting.
DP3AKB Jember mencatat ada 456.975 pasangan usia subur yang berisiko melahirkan bayi tengkes atau stunting baru.”Tapi alhamdulillah, 340.498 pasangan ikut keluarga berencana, sehingga aman,” kata Kepala DP3AKB Jember Suprihandoko, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi D DPRD Jember, Selasa (31/1/2023).
Tengkes menjadi perhatian Pemkab Jember. Bupati Hendy Siswanto menerbitkan Surat Keputusan Nomor 188 Tahun 2022 mengenai Pembentukan Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Kabupaten jember, Jawa Timur. TPPS juga dibentuk di level kecamatan hingga tingkat desa dan kelurahan. “Kemudian dilanjutkan keputusan bupati tentang pembentukan tim audit kasus stunting Jember pada 26 April 2022,” kata Suprihandoko.
DP3AKB menekan angka stunting dari hulu. Namun ada beberapa kendala yang dihadapi. “Pada Mei, baru terlaksana mini lokakarya penurunan stunting di 31 kecamatan dengan jumlah peserta sangat terbatas,” kata Suprihandoko.
Kendala kedua adalah ketersediaan data yang dibahas saat mini lokakarya sangat terbatas. “TPPS kecamatan belum memiliki baseline data lengkap untuk menganalisis situasi dan tindak lanjut berikutnya,” kata Suprihandoko.
Kendala ketiga, aplikasi Elsimil (Elektronik Siap Nikah dan Hamil) milik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang dijadikan pedoman tidak bisa diakses semua calon pengantin dan TPK (Tim Pendamping Keluarga). “Di Kabupaten Jember masih ada area blank spot,” kata Suprihandoko.
“Keempat, belum ada regulasi yang mengatur pernikahan tidak resmi. Jadi bagaimana teknis pendampingan, TPK mengalami kesulitan karena tidak ada surat nikah. Kelima, belum ada regulasi yang mengatur bila calon pengantin belum didampingi kader TPK dan belum diperiksa kesehatan, kepala desa dan lurah tidak menandatangani dokumen N1, N2, dan berikutnya,” kata Suprihandoko.
Kendala berikutnya, belum ada regulasi yang mengatur jenis pemeriksaan bagi calon pengantin. “Usul untuk dimasukkan dalam standar pelayanan minimal bidang kesehatan. Ini dalam proses perjalanan,” kata Suprihandoko.
Kendala ketujuh, belum tersedianya BMHP (Bahan Medis Habis Pakai) untuk pemeriksaan kesehatan calon pengantin di semua puskesmas. “Kemudian muncul penarikan biaya. Kemudian muncul instruksi bupati bahwa pemeriksaan calon pengantin digratiskan,” kata Suprihandoko.
Kurang percaya dirinya TPK dalam mengedukasi calon pengantin juga menjadi salah satu kendala. “Ini memang faktanya begitu. TPK tidak selalu kompeten, tapi paling tidak nanti kami upayakan untuk terus ditingkatkan kompetensinya,” kata Suprihandoko.
TPK juga belum memiliki media KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) sesuai masalah yang dihadapi calon pengantin. Menurut Suprihandoko, pihaknya sedang mengajukan pengadaan media ini. “Tidak tersedia biaya kegiatan pertemuan TPK dalam acara rutin yang membahas setiap kendala dan perkembangan yang dihadapi saat pendampingan keluarga. Pertemuan hanya sesekali, tidak bisa rutin,” katanya.
Mini lokarya tingkat kecamatan, lanjut Suprihandoko, seharusnya dilaksanakan sembilan kali dalam setahun. “Jumlah pesertanya sembilan orang per pertemuan. Ada kendala tidak tersedia data lengkap yang dibahas dalam setiap mini lokakarya,” katanya.
Kendati menghadapi kendala, DP3AKB tetap memverifikasi dan memvalidasi keluarga risiko tengkes pada 2022 dengan dibiayai BKKBN Jatim. “Pada 2021, jumlah keluarga risiko stunting di Jember 222.673 keluarga. Setelah dilakukan verifikasi dan validasi lapangan karena pelaksanaan konvergensi percepatan penurunan stunting oleh multidinas dan instansi di TPPS kabupaten menampakkan hasil bagus, tinggal 132.325 keluarga,” kata Suprihandoko.
Sebagaimana diberitakan, prevalensi balita stunted (tinggi badan menurut umur) di Jember menurut Kementerian Kesehatan mencapai 34,9 persen. Jember menduduki peringkat nomor wahid di Jawa Timur. [wir/but]
Komentar