Surabaya (beritajatim.com) – Sidang yang diajukan janda cantik Roestiawati Wiryo Pranoto atas hak harta gono-gini terhadap mantan suami Wahyu Djajadi Kuar kembali berlanjut di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Rabu (15/9/2021).
Dalam sidang yang dipimpin hakim Sutarno ini mengagendakan jawaban dari turut tergugat yakni Wahyudi Suyanto melalui kuasa hukumnya Leonard Chennius and Partner.
Dalam jawaban disebutkan bahwa turut tergugat menolak semua dalil penggugat. Selain itu, turut tergugat juga menyebut kalau gugatan yang diajukan penggugat adalah eror in persona. Sebab kedudukan hukum turut tergugat pada waktu itu sebagai notaris hanyalah mencatat kemauan para pihak. Yakni penggugat dan tergugat yang sudah sepakat melakukan akta perjanjian perdamaian nomer 008 tanggal 8 Juni 2016 serta akta addendum perjanjian nomer 047 tanggal 24 Juni 2016.
“Karena turut tergugat bukan pihak atau tidak ikut serta dalam perjanjian yang dibuat antara penggugat dan tergugat maka jelaslah bahwa turut tergugat tidak mempunyai hubungan hukum dengan objek perkara. Dan seharusnya gugatan penggugat tidak dapat diterima,” ujar kuasa hukum turut tergugat dalam jawabannya.
Atas jawaban dari turut tergugat tersebut, kuasa hukum penggugat yakni Dr. B. Hartono, SH., SE., SE.Ak., MH., CA menyatakan, hubungan hukum antara turut tergugat adalah bahwa dalam perjanjian kesepakatan perdamaian tersebut dibuat di depan notaris, yakni turut tergugat.
Tapi turut tergugat ini bukan pihak yang dituntut kerugiannya oleh penggugat. Namun turut tergugat harus bertanggungjawab karena terlibat dalam pembuatan perjanjian kesepakatan perdamaian. “Didalam jawabannya turut tergugat membantah, itu adalah hal yang biasa,” ujarnya.
“Dan saya akan buktikan bahwa gugatan yang saya ajukan bukanlah eror. Saya selaku kuasa hukum penggugat akan tetap mempertahankan bahwa perjanjian kesepakatan tersebut tidak identik dengan pembagian harta gono-gini,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Hartono, turut tergugat yang membuat perjanjian kesepakatan perdamaian itu adalah mendahului perceraian berlangsung. Dengan demikian, kata Hartono, hal ini terjadi tendensi atau kejanggalan.
“Yang ketiga adalah pembagian harta gono-gini dalam perjanjian kesepakatan bersama tersebut tidak berimbang karena tidak sesuai dengan hak yang mestinya diberikan ke klien saya,” ujarnya.
Hartono menambahkan, perjanjian kesepakatan seperti ini kerap kali dia lihat selalu dapat dibatalkan karena isinya tidak sesuai. Karena pembagian harta gono-gini harus dibagi setelah perceraian berlangsung. “Jadi kalau pembagian harta gono gini mendahului sebelum perceraian itu tidak dibenarkan,” ujarnya. [uci/suf]
Komentar