Hukum & Kriminal

Ahli Psikolog UGM Ungkap Penyebab Tragedi Kanjuruhan

Ahli Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Profesor Kuncoro MbSC. PhD ketika menerangkan penyebab tragedi Kanjuruhan.
Ahli Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Profesor Kuncoro MbSC. PhD ketika menerangkan penyebab tragedi Kanjuruhan.

Surabaya (beritajatim.com) – Sidang tragedi Kanjuruhan menghadirkan Profesor Kuncoro MbSC. PhD sebagai ahli. Psikolog dari Universitas Gajah Mada (UGM) ini menganalisa penyebab kenapa pertandingan Arema vs Persebaya berakhir ricuh.

“Tragedi Kanjuruhan dipicu pertama karena jumlah penonton melebihi kapasitas. Massa itu terdiri dari suporter fanatik dan suporter yang memandang sepak bola adalah hiburan,” ujarnya dalam persidangan, Jumat (10/2/2023).

Ahli menambahkan, penonton yang fanatik ada kecenderungan menginginkan tim yang mereka dukung harus menang. Kalahnya Arema dalam pertandingan big match melawan Persebaya membuat penonton kecewa. Dan kekecewaan tersebut kemudian berubah menjadi emosi yang meledak-ledak. “Individu-individu suporter fanatik ini kemudian terpacu melakukan tindakan ekstrem lantaran jumlah suporter fanatik cukup banyak,” ujarnya.

“Ditambah lagi, pertandingan itu kan berlangsung malam hari. Malam hari itu individu muncul rasa anonimitas. Mereka merasa identitasnya tidak kelihatan, sehingga kenekatannya semakin menjadi-jadi,” lanjutnya.

Masih kata ahli, suporter fanatik awalnya menumpahkan kekecewaan pada klub lawan. Namun karena tidak bisa meluapkan kekecewaannya pada lawan karena para pemain Persebaya sudah pergi, maka kemudian massa mengalihkan emosi pada pemain Arema. “Tapi ternyata usaha mereka dihalau polisi. Akhirnya, suporter mengalihkan luapan emosi ke polisi. Kenapa? karena dianggap melindungi. Terjadilah benturan antara polisi dengan suporter,” terangnya.

Akhirnya polisi merespon ancaman massa tersebut dengan bertindak cepat untuk membela diri dengan memanfaatkan alat-alat yang melekat pada diri mereka. Respon polisi tersebut dinilai wajar oleh ahli. Sebab, polisi adalah personel terlatih dan mempunyai pengalaman menghadapi situasi keos. “Dengan pengalaman itu, polisi terlihat bertindak intuisi. Dalam penelitian psikologi, intuisi itu dua tahap di atas rasional, ” tambahnya.

Karakter intuisi polisi lanjut ahli bisa sebenarnya  diredam sejak pertandingan digelar. Panpel semestinya melarang polisi membawa gas air mata sejak dari awal. Polisi dilarang membawa gas air mata di dalam stadion sebenarnya aturan dari rekomendasi FIFA. Akan tetapi, nyatanya di Indonesia larangan itu tidak diterapkan. “Polisi itu kan hanya pelaksana. Jangan dibolak-balik. Jangan kemudian, skill intuisi polisi dibunuh gara-gara peristiwa ini,” pungkasnya. [uci/kun]

Apa Reaksi Anda?

Komentar

beritajatim TV dan Foto

BPOM RI Segel Jamu Tradisional di Banyuwangi

Korban Pelecehan Harus Berani Lapor

Coba Yuk Spa Kurma di Surabaya