Magetan (beritajatim.com) – Pandangan Aji Gangsar Listyono (27) tak teralihkan dari rangkaian papan kayu ukuran A3. Dia tampak serius mencoba untuk memadukan goresan alam kayu dengan sketsa wajah yang dia coba tuangkan dalam rangkaian kayu pinus. Serat kayu yang hampir didominasi warna krem itu terlihat elegan ketika ditambah dengan goresan arang grafit.
Dengan hati – hati dia menorehkan satu per satu detail wajah pria dan wanita yang ia gambar. Sekali salah gores, media harus diganti. Pekerjaannya bakal bertambah karena perlu waktu untuk mengolah kayu agar bisa jadi media untuk menggambar sketsa. Ditambah lagi, kini dia perlu menggambar dua wajah sekaligus. ”pesanan dari kawan saya asal Tangerang, ini adalah potret kedua orang tuanya,” ungkap Aji.
Pria asal Desa Pojoksari RT 03 RW 01, Sukomoro, Magetan itu bukan orang baru dalam seni melukis diatas kayu. Sejak 2013 lalu, dia sudah mulai belajar menorehkan karya di atas papan kayu. Bermula saat dia ngontrak dengan salah satu kakak tingkat semasa kuliah Seni Rupa di salah satu universitas negeri di Surabaya. ”Kakak tingkat saya dulu yang membuat dan dijual, saya bagian nyantrik saja,” kenang anak pertama dari tiga bersaudara itu.

Kala itu, kakak tingkatnya kebetulan diberi tugas untuk membuat karya dengan menggunakan media yang tidak umum. Sehingga, dipilihlah media kayu untuk membuat sektsa maupun lukisan. Dulu dia sempat berkeliling ke seluruh Surabaya untuk menemukan jenis kayu dengan serat putih nan elegan. ”banyak pilihan untuk yang berserat batang warna putih, tapi sedikit sekali yang elegan untuk dijadikan background lukisan atau sketsa,” terangnya.
Pemuda yang kini tengah mengajar di salah satu SMP negeri Kecamatan Maospati itu dulunya kerap menggunakan kayu pinus. Lantaran, mudah sekali didapat di Surabaya. Banyak pasokan dari kabupaten Malang. Sementara untuk emncari kayu mahoni, cukup sulit. ‘”hanya dua kayu itu yang selama ini saya anggap cantik seratnya, lainnya masih perlu observasi lagi,” katanya.
Saat itu, orderan dari rekan satu universitas mulai mengalir. Bahkan, dia tak hanya menerima pesanan untuk media kayu, tapi dari media apapun sesuai dengan permintaan customernya. Duit hasil jualan digunakan untuk tambahan biaya hidup ketika kuliah. Sampai akhirnya dia lulus di tahun 2017 lalu. “Setelah itu, saya kembali ke Magetan dan mulai mengajar di Maospati,” katanya.
Tak berselang lama, kehidupan menjadi guru cukup membuatnya bersemangat untuk terus mengeksplor kemampuan diri. Dia pun memilih bergabung dengan salah satu komunitas pelukis di Magetan yakni mageti Art. Sebelumnya, dia sudah mengenal Mageti Art lewat pameran lukisan bertajuk Merupa Oase. Yang kala itu melibatkan kurator kondang. ”Setelah kenal, saya bergabung di tahun 2018, sampai saat ini,” katanya.
Dan dari situlah, banyak seniman muda yang tergabung dalam Mageti Art, hingga memutuskan untuk membuat perkumpulan bagi seniman muda yakni Magenta. Aji pun turut aktif dalam mengumpulkan karya. Bahkan, juga mengumpulkan dua karya di pameran kedua Magenta yang digelar virtual November lalu. Yakni dengan mengangkat tema sekolah di masa pandemi. ‘”Medianya dari kayu mahoni, saya kerjakan seminggu dengan merangkap sebagai tim editor untuk promosi pameran,” katanya.
Sejak saat itu, dia mulai bertekad untuk mengenalkan karyanya. Yakni sketsa di atas kayu. Di Magetan masih belum terlalu umum. Karena, kebanyakan masih menggunakan kertas atau bahkan digital. Untuk harganya memang disesuaikan dengan tingkat kesulitan dan juga ukuran yang diinginkan. Dia mematok harga mulai Rp 80 ribu hingga Rp 400 ribu tergantung ukuran. ”Ukurannya bisa apa saja, dibentuk bagaimanapun bisa menyesuaikan,” katanya.
Kayu yang digunakan pun juga tak sembarang kayu mahoni dan pinus yang sudah dipotong – potong dan dirangkai menjadi suatu ukuran. Kayu – kayu tersebut harus melewati proses oven. Kemudian disemprot cairan anti jamur dan anti rayap dan kemudian diangin – anginkan sampai kering dan siap digambari. ”Setelah selesai, baru diberi clear spray agar goresan pensil tidak rontok,” katanya. [fat/but]
Komentar