Berita Migas

Saling Menopang, Selaras dengan Lingkungan

Seorang petani sedang menggarap lahan hutan di kawasan Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Bojonegoro untuk ditanami jagung.

Bojonegoro (beritajatim.com) – Tanah masih basah dari sisa hujan tadi malam. Hujan turun hampir merata di wilayah Kabupaten Bojonegoro dan cukup deras. Saat matahari belum terlalu tinggi, seorang petani sedang menanam jagung di lahan hutan dengan cara tradisional menggunakan tugal. Petani itu terlihat melubangi tanah dengan tugal untuk ditanami benih jagung.

Lahan hutan jati yang dimanfaatkan sebagai area pertanian itu berada di RPH Sawitrejo, BKPH Clangap, KPH Bojonegoro. Sebagian besar lahan hutan yang berada dekat dengan permukiman warga di Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Bojonegoro memang beralih menjadi lahan pertanian yang dikelola oleh warga yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) bekerja sama dengan Perhutani.

Pohon jati yang masih ada di lokasi tersebut rerata baru berdiameter sekitar 15 centimeter, membuat sinar matahari bisa menerobos hingga ke permukaan tanah. Selain pohon jati yang masih kecil, sebagian lahan hutan di sekitar sudah beralih fungsi secara total menjadi lahan pertanian produktif. Para pesanggem atau mereka yang menggantungkan hidupnya dengan menggarap lahan hutan menyebutnya tegalan.

Tanaman produktif yang ditanam bahkan secara total mengubah sistem hutan menjadi lahan pertanian, seperti tanaman tebu. Namun, sebagian Pesanggem masih ada yang mempertahankan hutan jati dengan sistem tanam tumpang sari berupa tanaman semusim seperti jagung, padi dan palawija.

Salah seorang petani penggarap lahan hutan, Yuswan (46) Warga Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Bojonegoro mengaku sudah lama menggarap lahan hutan tersebut. Sebagian masyarakat kawasan hutan, menurutnya sudah turun temurun menggantungkan hidupnya dengan menggarap lahan hutan yang berada di sekitar rumah. Dia sendiri menggarap lahan hutan seluas seperempat hektare. Tegalan atau kawasan lahan hutan yang digunakan sebagai area pertanian miliknya saat ini ditanami jagung.

“Sistemnya kalau sudah panen biasanya dibagi dengan LMDH dan perwakilan Perhutani,” ujarnya ditemui jurnalis beritajatim.com, Selasa (19/10/2021).

Landscape pertanian di lahan hutan dengan background kawasan industri pengembangan gas Jambaran Tiung Biru (JTB) yang dikelola oleh Pertamina EP Cepu (PEPC) itu sudah selaras dengan masyarakat setempat. Kawasan hutan masih menjadi andalan bagi masyarakat untuk mendukung ketahanan pangan. Seperti Yuswan yang masih mengandalkan tegalan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarganya. Selain dirinya, sebagian besar masyarakat hutan juga menjadi Pesanggem.

Namun, yang masih sering menjadi kendala bagi para Pesanggem seperti dirinya adalah kebutuhan air pertanian masih terbatas mengandalkan hujan. Sehingga lahan tegalan yang dipilih sebagian besar berada di Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) aliran sungai. Selain itu, ancaman bencana juga kerap terjadi, diantaranya banjir bandang dan kekurangan air yang menyebabkan hasil panen tidak maksimal.

Penggunaan lahan hutan untuk pertanian produktif memang berdampak pada kerusakan lingkungan. Salah satunya jika ditanami tanaman semusim maka bisa merusak kontur tanah. Selain itu, penggunaan KPS seharusnya tidak boleh dieksploitasi dengan tanaman apapun, serta banyak hutan jati yang gundul karena saat pembukaan lahan dilakukan dengan cara dibakar yang juga berdampak pada kerusakan ekosistem lingkungan.

Kerusakan hutan akibat alihguna hutan menjadi area pertanian memang tidak bisa ditampik. Kepala Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Sawitrejo, Wulyono (45) mengatakan, akibat pemanfaatan lahan hutan menjadi area pertanian tersebut memang membuat kondisi hutan banyak yang rusak, terutama di Kawasan Perlingdungan Setempat (KPS). Sekitar KPS yang ada di RPH Sawitrejo sebagian besar tanaman hutan yang ada adalah pohon jati. Sepanjang daerah KPS saat ini ada penggarap atau Pesanggem yang menanami tanaman palawija. “Untuk keberadaan pohon jati sekarang kondisinya malah sudah jarang,” ujarnya.

Pihak Perhutani pada 2016 telah melakukan reboisasi kawasan hutan yang gundul atau tanah yang kosong dengan menanam kayu putih sebagai pengganti jati. Alasan dilakukan penanaman kayu putih ini karena karakter pohon tidak rakus terhadap ketersediaan air, dan akarnya mampu menjaga tanah agar tidak longsor. Kayu putih, menurut Wulyono, selain untuk menjaga kelestarian lingkungan, juga merupakan tanaman produktif yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai macam diantaranya untuk minyak kesehatan yaitu minyak angin. Bahkan saat ini kawasan Badan Kesatuan Pemangku Hutan (BKPH) Clangap yang ada di Kecamatan Ngasem menjadi kluster kayu putih.

Penanaman kayu putih ini dilakukan dengan sistem bagi ruang dengan penggarap di luas lahan sekitar 536,5 hektare. Dengan skema 1,5 meter x 12 meter. Artinya, 1,5 meter sebagai jalan, 9 meter lahan penggarap, 1,5 meter kayu putih. “Kayu putih ini secara jangka pendek lebih produktif dan tetap menjaga ekosistem lingkungan karena tidak menebang pohon. Di daerah Kecamatan Ngasem (Kabupaten Bojonegoro) bahkan sekarang juga sudah ada pabrik penyulingan kayu putih untuk minyak kesehatan,” tambahnya.

Mengubah Stigma Masyarakat dengan Agroferostri

Sebagai operator lapangan gas Jambaran Tiung Biru, Pertamina EP Cepu yang berdampingan dengan kondisi kerusakan hutan di sekitar lokasi proyek, berusaha untuk kembali menyelaraskan keseimbangan antara manusia dengan lingkungan yang lebih sehat. Namun, untuk mengubah stigma masyarakat yang sudah menjadi tradisi menggarap lahan hutan untuk pertanian tanpa merusak ekosistem itu butuh proses yang panjang. Pihak operator yang digadang-gadang mampu menyumbangkan energi gas sebesar 192 MMSCFD pada masa produksi itu menggandeng Non Government Organization (NGO), Institute Development of Society (IDFOS) Indonesia untuk memulainya.

Menurut Koordinator Divisi Ekonomi Kerakyatan, IDFOS Indonesia, Rizal Zubad Firdausi, isu hutan menjadi salah satu hal yang menarik, seperti yang dilakukan Presiden Joko Widodo yang juga mencetuskan program reformasi agraria dan kehutanan sosial dengan tujuan untuk menyejahterakan masyarakat tanpa merusak lingkungan. Sementara fenomena yang ada saat ini 90 persen lebih hutan di Bojonegoro dikelola oleh perhutani dengan masyarakat. “Sebenarnya itu bagus, karena masyarakat ada mata pencaharian dan perhutani juga diuntungkan karena ada yang mengawasi hutan,” terangnya.

Namun, kasus yang terjadi saat ini dilakukan di lahan KPS yang seharusnya tidak boleh dieksploitasi baik di tanah maupun tanami tanaman. Daerah KPS itu sendiri berada sepanjang 50 meter dari sisi kanan dan kiri sungai. Saat ini posisinya banyak masyarakat yang menggunakan lahan KPS untuk lahan produktif pertanian, seperti padi, jagung, dan palawija. “Tanaman semusim yang dilakukan dengan cara pengolahan lahan itu bisa merusak tanah yang menyebabkan dampak pada alur sungai,” lanjutnya.

Untuk mengubah stigma masyarakat yang sudah menggunakan lahan KPS sebagai lahan produktif pertanian itu perlu adanya pendekatan yang intens salah satunya dengan Agroforestri. Dengan program agroforestri ini tujuan utamanya untuk mengembalikan fungsi kelestarian hutan dan tidak merenggut mata pencaharian petani penggarap. “Untuk mengarahkan petani penggarap ke pertanian yang tetap memperhatikan kelestarian hutan ini prosesnya tidak gampang dan perlu waktu panjang. Harus menyadarkan dan memberikan pengetahuan yang pelan-pelan, karena kalau langsung dibenturkan dengan aturan bisa ramai. Salah satu pendekatan sistem agroforestri dengan menanam buah kelengkeng ini sembari pelan-pelan memberi pemahaman kepada masyarakat,” katanya.

Program agroforestri yang digagas oleh IDFOS dan PEPC ini sudah berjalan selama dua tahun. Dilakukan di lahan KPS aliran sungai yang bermuara ke Sungai Gandong. Karakter sungai yang ada saat terjadi hujan akan banjir dan jika kemarau kondisinya kering. Kondisi tersebut yang harus diselamatkan karena masuk dalam lahan kritis. Dengan ditanami pohon kelengkeng ini diharapkan model pertanian masyarakat penggarap bisa berubah. Pohon kelengkeng sendiri diperkirakan bisa sampai berbuah di usia tiga sampai empat tahun. Sedangkan pohon kelengkeng sendiri mampu bertahan hidup biasanya sampai 15 – 20 tahun.

Menurut Rizal, pertimbangan memilih buah kelengkeng sendiri karena seperti diketahui, bahwa kondisi daerahnya rendah dan harganya juga tidak pernah anjlok. Program agroforestri ini akan dilakukan di lahan seluas 5 hektare dengan jumlah sebanyak 2.500 pohon. Saat ini para pesanggem itu masih merawat pohon kelengkeng dan masih bercocok tanam dengan tanaman semusim karena belum berbuah. “Setelah nanti sudah berbuah ada komitmen mengganti tanaman semusim dengan buah kelengkeng. Mereka tetap mendapatkan hasil dari hutan tanpa merusak lingkungan,” ungkapnya.

Upaya Pengentasan Kemiskinan

Hasil Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2020 yang menggunakan indikator kemiskinan mikro berisi informasi sekitar 40 persen penduduk di Indonesia dengan status kesejahteraan terendah, mencakup penduduk miskin dan hampir miskin. Data kemiskinan mikro mengelompokkan tingkat kesejahteraan terendah tersebut berdasarkan desil (sepersepuluh) yakni desil 1 (10 persen terendah), desil 2 (antara 10-20 persen terendah), desil 3 (antara 20-30 persen terendah), desil 4 (antara 30-40 persen terendah). Indikator dan variable data kemiskinan mikro pun meliputi kondisi demokrasi, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, hingga rumah dan asset yang dimiliki rumah tangga atau individu disuatu wilayah atau daerah.

Dari pengukuran Susenas 2020 tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Bojonegoro tingkat kemiskinannya masih diperingkat ke 11 dari 38 kabupaten dan kota di Jawa Timur. Basis kemiskinan mikro tersebut sebagian besar masih didominasi masyarakat sekitar kawasan hutan. Jumlah penduduk di Kabupaten Bojonegoro menurut kecamatan dan status kesejahteraan 40 persen terendah di Indonesia paling banyak berada di Kecamatan Kedungadem, Kecamatan Ngraho, Kecamatan Ngasem, Kecamatan Tambakrejo, dan Kecamatan Dander. Lima kecamatan yang masuk dalam kantong kemiskinan di Kabupaten Bojonegoro ini sebagian wilayahnya masuk kawasan hutan. Di Kecamatan Ngasem sendiri ada sekitar 16 desa yang berada di kawasan hutan.

Sebagian besar penduduk miskin atau hampir miskin tersebut mayoritas bekerja di sektor pertanian. “Masyarakat sekitar hutan sebagian besar memang menggantungkan hidupnya untuk menggarap lahan hutan sebagai mata pencaharian, selain bekerja di proyek migas,” ujar Rizal Zubad Firdausi.

Sistem agroforestri yang memiliki tujuan untuk melestarikan lingkungan dan tetap memberi dampak kesejahteraan bagi masyarakat ini memang masih hal baru bagi mereka. Sedikitnya ada 34 orang yang tergabung dalam LMDH Rimba Tani yang saat ini sedang menjalankan program tersebut diharapkan bisa menjadi percontohan bagi masyarakat lainnya. Setiap orang menanam sekitar 100 sampai 250 pohon kelengkeng di lahan yang mereka garap. Secara matematis, jika dibandingkan dengan tanaman semusim jenis padi yang ditanam di lahan seluas 1 hektar bisa panen sebanyak 4 – 5 ton gabah. Jika satu 1 kg gabah seharga Rp4000 maka sekali panen satu musim bisa mendapat sekitar Rp16 juta.

Sedangkan jika dibandingkan dengan tanaman kelengkeng, dengan luasan tanah 1 hektare bisa ditanami kurang lebih 400 – 500 pohon. Per pohon rata-rata bisa panen 20 hingga 30 kg selama dua kali panen dalam satu tahun. Sedangkan harga kelengkeng paling murah per kilogramnya sebesar Rp25 ribu. “Sehingga jika dihitung-hitung, jika satu orang menanam 200 pohon kelengkeng saja maka dalam setahun sudah bisa menghasilkan Rp200 juta. Dengan begitu masyarakat kawasan hutan bisa lebih sejahtera,” terangnya.

Asisten Perhutani (Asper) Kepala Badan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KBKPH) Clangap Lugianto mendukung dengan adanya program agroforestri penanaman pohon kelengkeng yang sedang dijalankan oleh Pertamina EP Cepu bersama dengan sejumlah masyarakat. “Sebagian besar kawasan hutan sekarang sudah rusak, jika ditanami tanaman produktif yang hanya dipanen buahnya saja lebih bagus karena pohonnya masih ada menjaga tanah,” terangnya.

Community Relations and CSR Pertamina EP Cepu Edi Arto menjelaskan, program agroforestri berbasis kawasan hutan bersama masyarakat ini bekerjasama dengan Perhutani, LMDH dan didampingi LSM IDFOS. Tahun ini merupakan kelanjutan program pengelolaan CSR tahun sebelumnya, berupa penanaman 2.500 pohon kelengkeng pada 6 hektar lahan di kawasan hutan terutama di area KPS (Kawasan Perlindungan Setempat).

“Program ini menjembatani antara keperluan konservasi dan juga pemberdayaan masyarakat desa hutan guna pengembalian mata pencaharian (livelihood restoration) khususnya bagi petani penggarap (pesanggem) di area Perhutani sebagai upaya pengelolaan dampak sosial setelah pembebasan lahan,” jelas Edi Arto.

Program ini, lanjut Edi, juga mendukung pengelolaan RKL-RPL terkait isu penyerapan CO2 sesuai rekomendasi dalam Adendum AMDAL Proyek JTB, yaitu berupa penanaman pohon penyerap CO2 yang berfungsi sebagai agen sekuestrasi GRK (Gas Rumah Kaca) dan meningkatkan kapasitas penyerapan CO2 dari lahan yang telah bervegetasi. Dari pengelolaan agroforestri ini ke depan diharapkan bisa menjadi salah satu pengembangan kawasan ekonomi wisata berbasis budidaya buah. “Pengembangan kawasan wisata ini selaras dengan program yang dicanangkan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro,” pungkasnya.

Saat matahari mulai naik hampir di atas kepala, Yuswanto menyudahi memanem jagung di lahan seperempat hektare yang ditanami jagung dengan tumpang sari tanaman kelengkeng dari program Pertamina EP Cepu. Yuswan mengaku lebih senang dengan adanya program penanaman pohon kelengkeng ini. 45 pohon yang ada di lahannya saat ini sudah pernah ada yang berbuah. “Lebih senang dengan diberi tanaman kelengkeng. Bisa menambah penghasilan keluarga,” pungkasnya sebelum dia meninggalkan sawahnya membawa sekarung jagung yang sudah panen kering. [lus/but]

Apa Reaksi Anda?

Komentar